Mustafa "Steven" Samuel, Syok Saat Pertama Kali Baca Quran
Butuh waktu 25 tahun bagi Steven untuk menemukan Islam dan meyakini bahwa Islam-lah agama kebenaran, yang mampu menjawab semua pertanyaan yang selama puluhan tahun mengusik alam pikirannya.
Setelah melalui pencarian panjang, pada tahun 2009, Steven mantap bersyahadat dan hidup sebagai seorang muslim dengan nama islami Mustafa Samuel.
Ia lahir dalam keluarga penganut agama Kristen Ortodoks, dan mengenyam pendidikan di berbagai sekolah Kristen, mulai dari yang berbasis Katolik, Protestan, Maronit, Kristen Ortodoks dan aliran Kristen lainnya. Pengalaman ini membuat Steven memiliki cukup bekal pengetahuan agama, sekaligus membuatnya berpikir kritis terhadap ajaran Kristen yang diketahuinya.
"Saya tidak pernah benar-benar menerima dogma yang diajukan pada saya. Saya adalah orang yang akan selalu menanyakan apa saja, termasuk soal agama," ujar Steven.
Masa Pencarian
Ia mengingat kembali perjalanan hidupnya di era 1990-an, masa dimana ia benar-benar serius mencari tahu tentang banyak hal. Steven juga memutuskan pindah tempat tinggal dari Sydney ke Queensland, karena ia merasa Sydney bukan tempat yang baik buat dirinya.
"Saya pernah bekerja di sebuah toko minuman keras selama lima tahun, dan saya pernah menyaksikan perilaku manusia yang sangat buruk, yang tidak pernah Anda bayangkan. Saya kira, pengalaman ini mengguncang keyakinan saya akan kemanusiaan," ungkap Steven.
Setelah pindah ke Queensland, Steven berusaha mencari kebenaran yang ia inginkan, dan berdoa pada Tuhan agar menunjukkan kebenaran itu, dan ia akan menerimanya.
"Selama masa itu, saya ikut jamaah Mormon, Saksi Yehovah dan jamaah beragam aliran agama Kristen untuk menemukan kebenaran yang saya cari. Tapi saya tidak pernah bisa mendapatkan jawaban yang saya inginkan, 'mengapa saya di sini?', 'apa tujuan keberadaan saya?'" tutur Steven.
Peristiwa serangan 11 September 2001 di AS, menjadi titik balik pencarian Steven. Selama ini, di tengah pencariannya akan kebenaran, Steven tidak pernah melirik ajaran Islam, dan ia tidak tahu sama sekali tentang Islam.
"Saya tidak terlalu berusaha mencari tahu lebih jauh tentang Islam. Tapi saya kira, saya merasa bahwa mungkin umat Islam adalah umat yang benar-benar menjalankan ajaran agamanya dengan benar. Melihat bagaimana seluruh dunia bersikap perang terhadap orang Islam, satu hal yang menurut saya masuk akan, mungkin karena kaum Muslimin berada di jalur yang benar," ungkap Steven.
Namun cahaya Islam belum menerangi hati Steven. Steven masih terus melakukan pencarian dan melakukan perjalanan ke berbagai negara, mulai dari AS, Amerika Tengah, Eropa, termasuk ke Italia untuk bertemu dengan keluarganya, lalu ke Dubai dan Singapura.
Selama lima hari kunjungannya di Dubai, Steven berniat untuk melihat sendiri bagaimana Islam yang sebenarnya, karena Dubai adalah negara muslim. Tapi Steven mengaku kecewa, karena Dubai tidak seperti gambaran kota islami seperti yang ia bayangkan. Tapi ada satu hal yang benar-benar menarik perhatian Steven saat di Dubai.
"Saya pergi ke sebuah museum di sana, dan diseberang jalan museum saya melihat sebuah masjid. Saya benar-benar ingin menyeberang jalan dan melihat masjid itu untuk mencari tahu tentang Islam. Saya tidak sadar hari itu hari Jumat, saat umat Islam menunaikan salat Jumat. Saya belum paham ketika itu. Saya juga mengenakan pakaian kasual seperti yang digunakan warga negara asing lainnya, sementara orang-orang di masjid mengenakan busana lokal. Padahal saya benar-benar ingin sekali ke masjid itu," ungkap Steven.
Hidayah Quran dan Islam
Keinginannya untuk masuk ke masjid tidak pernah tercapai, karena ia harus kembali ke Australia. Steven mulai mencari tahu sendiri tentang Islam. Tahun 2006, ia membeli Quraan pertamanya, yang ia baca dalam kurun waktu 2,5 tahun. Steven mengaku syok, saat membaca isi terjemahan Quran.
"Saya baru tahu kalau Nabi Musa, Nabu Lut dan Nabi Nuh, serta nabi-nabi lainnya juga diceritakan dalam Quran. Saya benar-benar kaget dan berseru dalam hati 'Oh, wow'. Tak ada satu pun dalam Quran yang ingin mengobarkan perang atau mengarah pada kata ekstrimisme atau terorisme, atau apalah. Rasa ingin tahu saya makin besar. Oleh sebab itu, selama dua selanjutnya saya terus mempelajari Islam. Saya baca Quran sekali lagi," papar Steven.
Steven mengaku sudah ingin masuk Islam pada tahun 2008, tapi ia tidak menemukan seorang muslim yang bisa membantunya. Ia mengontak sebuah masjid, mengirim surat elektronik, dan meminta dikirimkan Al-Quran. Tapi tak ada yang menjawab suratnya. Ia jadi berpikir, "Baiklah, mungkin Allah tidak menginginkan saya menjadi seorang muslim" dan ini membuatnya agak panik.
Tahun 2009, Steven kembali ke Sydney dan bertemu seorang muslim yang menurutnya sangat ramah, namanya Samir. Awalnya Steven berpikir Samir bukan muslim karena tidak berjenggot, dan Samir punya menantu bernama Adam yang membuat Steven berpikir keduanya adalah Kristiani.
Saat itu, Steven sudah tahu bagaimana caranya salat, yang ia pelajari lewat internet. Steven bahkan sudah mulai menunaikan salat seperti layaknya muslim, sejak seminggu sebelum ia memutuskan untuk mengucapkan syahadat. Ia juga mulai meninggalkan kebiasaan minum minuman beralkohol dan tidak lagi makan daging babi.
Suatu hari, Samir membawakannya satu box pizza dan minuman ringan. Ia bertanya pada Samir apakah makanan itu halal, karena saar itu Steven masih mengira Samir bukan muslim. Samir menjawab bahwa pizza yang dibawanya halal. Saat itulah Steven baru tahu kalau sahabatnya itu seorang muslim, dan ia mengatakan, "Oh, saya ingin menjadi seorang muslim."
Keesokan harinya, Samir membawa Steven ke rumah seorang iparnya dan disanalah Steven mengucapkan dua kalimat syahadat. "Saya merasa sangat-sangat bahagia, dan sejak itu saya tidak pernah lagi menengok ke belakang," tukas Steven alias Mustafa Samuel.
Steven merasakan perubahan besar dalam dirinya setelah menjadi seorang muslim. "Islam membuat saya lebih disiplin dengan kewajiban salat lima waktu, wudu, menahan lapar saat Ramadan, menahan diri untuk tidak makan daging babi dan minum minuman keras. Islam mengubah semuanya, mengubah keseluruhan dinamika kehidupan saya. Saya jadi lebih tenang, tidak mudah marah, lebih seimbang dalam berpikir, jika dulu saya gampang emosi, sekarang saya lebih rileks," papar Steven.
"Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang yang sabar. Saya sangat bahagia memeluk Islam karena Islam memberikan saya banyak kebaikan yang tidak saya miliki sebelumnya," tandas Steven. (kw/oi)
Seorang mualaf terkadang lebih taat menjalankan ajaran Islam dan memiliki lebih banyak pengetahuan tentang agama Islam, dibandingkan dengan mereka yang memang sejak lahir berasal dari keluarga muslim. Itu karena para mualaf, biasanya lebih sungguh-sungguh dalam mempelajari dan menghayati ajaran Islam, sehingga bisa memberikan pengaruh positif bagi kehidupan mereka sendiri, dan orang-orang di sekitarnya. Kehadiran para mualaf ini, bahkan menjadi cahaya baik bagi komunitas Muslim, maupun non-Muslim.
Abdullah adalah salah satu dari sekian banyak mualaf di AS. Pendidikannya hanya sampai sekolah menengah atas, tapi ia pernah bertugas di kemiliteran AS selama beberapa tahun dimana ia belajar beberapa ketrampilan teknis. Sekarang, Abdullah mencari nafkah dengan menjadi tukang memperbaiki mesin fotokopi dan fax.
Tapi yang menarik adalah kisah Abdullah menjadi seorang muslim. Saat Perang Teluk kedua atau perang Irak yang diawali dengan invasi AS ke negeri itu, Abdullah masih aktif di dinas kemiliteran AS. Ia ditempatkan di basis militer AS di Arab Saudi. Suatu hari, Abdullah berbelanja di sebuah pasar di Saudi. Ia membeli beberapa barang kebutuhan.
Ketika Abdullah akan membayar barang-barang yang dibelinya pada penjaga toko, tiba-tiba terdengar suara azan dari masjid terdekat. Penjaga toko berkata, "sudah" sambil mengibaskan tangan dan menolak mengurus pembayaran Abdullah.
Abdullah menyaksikan bagaimana penjaga toko itu langsung menutup tokonya dan bergegas ke masjid. Abdullah cuma terbengong-bengong dan bertanya-tanya dalam hati melihat tingkah si penjaga toko itu, "Kenapa lelaki ini tidak mau mengambil uang pembayarannya, padahal harganya sudah disepakati."
Abdullah merasa, seumur hidupnya tidak pernah melihat orang yang menolak uang. Apalagi dalam bisnis, setiap orang pasti saling berlomba-lomba mendapatkan uang. "Orang macam apa penjaga toko ini, agama apa ini yang sangat diprioritaskan penjaga toko ini?" tanya Abdullah dalam hati.
Pikiran Abdullah dipenuhi dengan rasa ingin tahu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang agama yang dianut penjaga toko itu. Ia lalu membaca buku-buku tentang Islam selama bertugas di Saudi, dan akhirnya memutuskan masuk Islam saat kembali ke AS.
Di New York, Abdullah belajar dengan sejumlah ustaz yang mengajarinya pengetahuan dasar tentang Islam dan mengajarkannya membaca Al-Quran. Abdullah pun menjadi seorang muslim yang taat dan selalu berusaha menunaikan salat di masjid. Saat pindah ke Detroit, Abdullah meneruskan kebiasaannya itu dan aktif dalam berbagai kegiatan di masjid Detroit.
Abdullah kini sudah hapal beberapa surat dalam Al-Quran dan mampu membaca Al-Quran dengan lantunan suara yang indah. Ia sering ditunjuk untuk menjadi imam salat dan hapalan Quran-nya terus bertambah setiap hari. Dalam keseharian hidupnya, Abdullah juga berusaha mencontoh apa yang biasa dilakukan Rasulullah Saw. sampai cara Rasulullah tidur dengan posisi menghadap kanan, dan tangan dilipat dibawah kepala.
Suatu hari, ada jamaah masjid yang melihatnya berbaring seperti dan khawatir kalau Abdullah sakit. Tapi Abdullah menjawab bahwa ia baik-baik saja, "Beginilah posisi tidur Rasulullah Saw," kata Abdullah menjawab kekhatiran jamaah tadi.
Abdullah tanpa malu-malu selalu berusaha mempraktekkan apa yang diajarkan oleh Al-Quran dan hadis. Berkat teladan yang ditampakkannya sebagai seorang muslim, Abdullah berhasil membuat banyak anggota keluarganya yang tertarik dengan Islam dan akhirnya memutuskan masuk Islam. Abdullah juga mengajar dan mendidik anak-anaknya sendiri untuk menghapal Quran dan membiasakan diri salat ke masjid, meski di kala Subuh dan dalam kondisi cuaca yang teramat dingin.
Abdullah juga belajar bahasa Arab dengan bimbingan seorang ulama bernama Dr. Syaikh Ali Suleiman. Kemampuan berbahasa Arab-nya yang baik, membuatnya mudah menghapal surat-surat Al-Quran. Abdullah juga belajar tentang hadis, dan sekarang kerap diminta untuk memberikan khutbah Jumat. Dengan keislamannya, Abdullah menjadi penerang bagi banyak non-Muslim menuju ke cahaya Islam. (kw/TTT)
Dr. Maharaj adalah seorang tokoh Hindu terkemuka di Achariya Mahant, India. Ia beserta istri dan anak perempuannya masuk Islam pada bulan Ramadhan tahun 1986 di kota Bhopal, India. Setelah menjadi muslim, Maharaj menggunakan nama islami Islamul Haq.
"Setelah bersyahadat dan menjadi seorang muslim, saya merasa menemukan kehidupan yang lebih terarah dan terlepas dari liarnya kehidupan duniawi selama ini," ujarnya.
Tokoh terpandang, kaya dan berpendidikan di lingkungannya ini mengaku masuk Islam atas kemauan sendiri, setelah melakukan pencarian dan mempelajari beragam ajaran agama. Dalam pencariannya itu, Dr Maharaj akhirnya menemukan kebenaran Islam dan ia ingin menjadikan dirinya contoh untuk menolak pandangan masyarakat dunia yang selama ini menuding Islam disebarluaskan dengan kekerasan, dengan pedang.
Dr. Maharaj lahir dan dibesarkan di tengah keluarga Hindu yang taat. Ia sendiri pernah bekerja sebagai pendeta agama Hindu di beberapa institusi agama Hindu di India. Tugasnya, selain menyebarkan ajaran Hindu, mendata dan melatih para siswa calon pendeta.
Sebagai seorang doktor di bidang ilmu agama dan orientalisme, Dr Maharaj pernah diundang Paus Santo Paulus VI berkunjung ke Vatikan. Dalam kunjungannya, ia mengaku mendapat tekanan kuat agar ia mau menerima ajaran Katolik. Ia diminta untuk memberikan ceramah dengan tujuh topik berbeda. Namun ia berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Paus memberikan penilaian terbaik atas topik kekristenan yang dipaparkan Maharaj, dan untuk itu ia diberi penghargaan kehormatan berupa pengakuan sebagai warga kota Vatikan.
"Meski demikian, saya sama sekali tidak tertarik dengan ajaran Kristen. Saya pulang ke India dan melanjutkan pekerjaan saya sebagai pendeta agama Hindu," ujar Maharaj yang menguasai 12 bahasa asing ini.
Dr. Maharaj mempelajari 10 ajaran agama yang ada di dunia. Tapi, jauh sebelum memutuskan masuk Islam, Maharaj mengakui kebenaran ajaran Islam. Pada tahun 1981, ia diundang oleh Dada Dharam, seorang tokoh agama Hindu yang cukup dikenal masyarakat internasional. Dhram tiba-tiba menanyakan pada Maharaj, "Engkau sudah mempelajari berbagai agama di dunia. Agama mana yang menurutmu terbaik untuk manusia?" Jawaban Maharaj atas pertanyaan itu adalah "Islam".
Dharam lalu berkata, "Tapi Islam adalah agama yang terlalu mengekang umatnya".
Maharaj menjawab, "Agama yang disebut sangat mengekang itu, juga memberikan kebebasan. Justru agama yang dianggap tidak mengekang manusia malah memperbudak manusia. Manusia membutuhkan agama yang tetap 'mengekang'nya, agama yang mengatur manusia dengan ketat dalam masalah kehidupan duniawi, tapi membebaskannya dalam kehidupan akhirat kelak. Menurut saya, cuma Islam yang memenuhi kualifikasi sebagai agama yang paling baik."
"Islam memiliki akar yang kuat dan abadi. Takkan ada kekuatan di bumi yang bisa menghancurkan atau melenyapkannya. Islam mungkin bisa hilang dari kehidupan seorang muslim yang imannya lemah. Tapi Islam, biar bagaimanapun juga, akan terus tumbuh dan berkembang sepanjang masih ada seorang muslim yang memiliki semangat hijrah dan kemenangan, sepanjang dalam diri seorang muslim masih ada antusiasme untuk bersyukur dan bertakwa," papar Maharaj.
Setelah menjadi seorang muslim, Dr Maharaj melepas semua kekayaan harta benda dan kenyamanan hidup yang ia miliki selama ini. Ia rela melepas itu semua demi Islam. "Menjadi orang terkaya tidak akan memberikan kebahagiaan dan kepuasan pada diri saya, seperti yang saya dapatkan dari agama Islam," ujarnya.
Ditanya soal pendapatnya tentang sosok muslim yang baik. Maharaj menjawab bahwa tidak ada muslim yang lebih baik daripada Nabi Muhammad Saw. Namun ia mengatakan bahwa muslim yang baik seperti lebah yang hanya mau hinggap di bunga-bunga yang indah dan wangi, bukan di tempat-tempat yang kotor. Lebah memberikan madu, dan bukan racun. Madu yang bermanfaat bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi juga makhluk lain seperti manusia dan hewan lainnya.
"Itulah sebabnya, saya bersungguh-sungguh mengajak semua muslim di dunia agar tetap berpegang dan mematuhi apa yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw, berjalan menyeberangi sungai dunia dan sampai ke seberang dengan aman ..."
"Masih banyak waktu bagi kaum Muslimin untuk memperbaiki diri dan berkonsentrasi pada visi mereka pada kebenaran. Jika kaum Muslimin memiliki sikap seperti itu, Insha Allah, kita akan sukses dalam hal apapun yang kita lakukan," tukas Maharaj.
Dr Maharaj berencana untuk membuat gerakan dakwah yang kegiatannya mencakup upaya membela dan melindungi Islam, memberikan dukungan dan menggalang persatuan kaum Muslimin dan menyebarkan ajaran Islam yang mulia ke seluruh dunia dengan damai. (kw/TTT)
Nama Jermaine Jackson memang tidak sepopuler adiknya, mendiang Michael Jackson. Tapi pecinta musik pop, sempat mengenalnya sebagai seorang penyanyi, dunia gemerlap yang ditinggalkannya setelah memeluk Islam.
Sekarang, agama Islam menjadi bagian yang terpisahkan dari hidupnya. Jermaine, yang menyandang nama islami Muhammad Abdul Aziz ini, menceritakan perjalanannya menemukan cahaya Islam.
Kisahnya bermula pada tahun 1989. Ia bersama saudara perempuannya sedang menggelar konser ke sejumlah negara Timur Tengah, salah satunya Bahrain, dimana ia mendapat sambutan paling hangat dari para penggemarnya.
Selama berada di Bahrain, Jermaine berkesempatan bertemu dengan beberapa anak-anak dan berdialog dengan mereka. “Saya bertanya tentang banyak hal pada mereka dan mereka juga menanyakan pertanyaan khas anak-anak yang polos,” kenang Jermaine.
Ia melanjutkan, “Saat interaksi itu, mereka menanyakan tentang agama saya. Saya jawab, 'Saya seorang kristiani.' Lalu, saya bertanya apa agama mereka. Suasana tiba-tiba senyap. Kemudian mereka menjawab dengan kompak dan menyebut 'Islam'”
Interaksi singkat dengan anak-anak di Bahrain rupanya membekas di hati Jermaine, dan membawanya dalam sebuah diskusi panjang tentang Islam dengan sejumlah cendikiawan Muslim.
Diskusi-diskusi itu menimbulkan getaran-getaran kuat dalam pikirannya. Jermaine berusaha meyakinkan dirinya bahwa tak terjadi apa-apa. Namun ia gagal dan tak bisa menyembunyikan lagi perasaannya bahwa Islam telah memanggilnya. Dalam hati ia merasa bahwa dirinya sudah masuk Islam.
“Saya mengungkapkan hal ini pertama kali pada teman keluarga saya, Qunber Ali. Pada saat yang sama, ia ingin mengajak saya ke Riyadh, Arab Saudi. Kala itu, saya masih belum tahu banyak tentang Islam,” ujar Jermaine.
“Tapi di sana, ditemani oleh satu keluarga Saudi, saya pergi ke Makkah untuk menunaikan 'umrah'. Di kota Makkah-lah, untuk pertama kalinya secara terbuka saya menyatakan masuk Islam,” ungkapnya.
Jermain menyatakan, setelah masuk Islam, ia merasa seolah-olah telah terlahir kembali. Dalam Islam, ia menemukan semua jawaban yang tidak pernah ia temukan dalam ajaran Kristen. Khususnya, pertanyaan Jermaine soal kelahiran Yesus Kristus.
“Hanya Islam yang memberikan jawaban yang memuaskan. Untuk pertama kalinya, saya jadi percaya dengan agama itu sendiri. Saya berdoa, seluruh anggota keluarga saya bisa menghargai semua fakta ini,” harap Jermaine.
Keluarga Jackson adalah penganut Kristen sekte Saksi Yehova. Berdasarkan keyakinan agama ini, hanya 144.000 laki-laki yang akhirnya memenuhinya syarat untuk masuk surga.
“Bagaimana mungkin, itu sebuah kredo yang buat saya membingungkan. Dan saya makin terkejut ketika menyadari bahwa Alkitab ternyata disusun oleh banyak orang, terutama Alkitab yang disusun oleh Raja James ...”
“Saya bertanya-tanya, seseorang yang menyusun Alkitab dan mengklaim sumbernya dari Tuha, tapi orang itu sendiri tidak menjalankan apa yang ada dalam Alkitab,” imbuh Jermaine.
Ketika kembali ke AS, Jermaine melihat bagaiman media massa di AS menyebarkan propaganda buruk tentang Islam dan Muslim. Sebagai muslim, Jermaine sempat terkena gosip tak sedap yang mengganggu pikirannya. Namun ia bertekad akan melakukan yang terbaik untuk meluruskan citra negatif yang digambarkan media massa AS tentang Islam dan Muslim.
Ketika kembali AS, Jermaine membawa banyak buku tentang Islam dari Arab Saudi. Menurutnya, Michael Jackson--saang adik--tertarik membaca buku-buku itu dan meminta izin untuk membaca dan mempelajarinya.
“Sebelum ini, cara pandang Michael pada Islam dan Muslim sangat terpengaruh dengan propaganda media massa. Ia tidak memusuhi Islam, tapi juga tidak begitu menunjukkan rasa suka pada Muslim. Tapi setelah membaca buku-buku itu, Michael lebih banyak diam dan tidak mengatakan hal-hal yang buruk tentang Muslim,” papar Jermaine.
Ibu Jermaine yang tahu putranya sudah menjadi Muslim pun bertanya, apakah Jermaine mengambi keputusan itu dengan mendadak, atau setelah melalui pemikiran yang dalam dan panjang. Jermaine dengan mantap menjawab, “Saya memutuskannya setelah memikirkannya dalam-dalam.” Sementara adi perempuan Jermaine, Janet Jackson, cuma bisa tercengang mengetahui sang kakak menjadi seorang muslim.
Bagi Jermaine, masyarakat Muslim menjadi tempat yang paling aman di seluruh planet bumi. Ia mencontohkan kehidupan kaum perempuan. Kaum perempuan di Amerika mengenakan busana yang menggoda kaum lelaki melakukan pelecehan. Hal semacam itu tidak terpikirkan di tengah masyarakat Muslim.
“Saya yakin, jika ada tempat dimana kemanusiaan masih dijunjung tinggi, tempat itu tidak lain adalah masyarakat muslim. Pada saatnya, dunia akan mengakui realita ini,” tandas Jermaine.
Jermaine kini hidup bahagia bersama istri dan dua anaknya. Ia menerapkan kehidupan islami di tengah keluarganya, dan membimbing istrinya untuk terus mempelajari Islam. (kw/TTT)
Anthony Vatswaf Galvin Green mengubah namanya menjadi Abdur Raheem Green setelah memeluk Islam. Sejak kecil, lelaki kelahiran Dar As-Salam, Tanzania ini, sering mempertanyakan konsep ajaran Katolik yang menurutnya banyak yang tak masuk akal, hingga ia menemukan cahaya Islam.
Ibu Green yang asli Polandia dan penganut Katolik Roma yang taat, membesarkan Green dan anak-anaknya yang lain dengan didikan ala Katolik. Green bahkan sempat disekolahkan di sebuah keuskupan Katolik Roma di Yorkshire di utara Inggris.
Hal pertama yang mengusik pikirannya tentang ajaran Katolik adalah ketika ia mendengar ibunya berdoa dan menyebut "Bunda Maria, ibu dari Tuhan Yesus". Green merasa aneh dengan doa itu, bagaimana bisa Tuhan punya ibu? Karena Yesus yang ia kenal selama dalam konsep ajaran Katolik adalah Tuhan, bukan nabi seperti dalam ajaran Islam.
"Saya duduk dan memikirkan tentang ibu dari tuhan itu. Jika Bunda Maria adalah ibu dari tuhan (Yesus), ia pastilah lebih juga tuhan yang lebih baik dari tuhan itu sendiri. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya," tutur Green mengenang pengalaman masa kecilnya.
Saat masuk sekolah di keuskupan, Green mulai lebih banyak memikirkan banyak hal, mempelajarinya dan melakukan riset terhadap ajaran Katolik yang dianutnya. Salah satunya tentang "kewajiban" pengakuan dosa yang ditetapkan oleh para pendeta di keuskupannya. Green masih ingat, seluruh siswa diwajibkan paling tidak sekali setahun untuk melakukan pengakuan dosa.
"Para pendeta selalu mengatakan, 'kalian harus mengakui semua dosa kalian, jika tidak mengakui semua dosa, pengakuan di akhir nanti tak ada gunanya dan tak satu pun dosa kalian yang akan diampuni'," ujar Green menirukan ucapan para pendeta di sekolahnya dulu.
Buat Green, doktrin pengakuan dosa adalah doktrin aneh dan tidak lebih dari konspirasi besar untuk mengendalikan orang lain. "Mengapa? Mengapa saya harus mengakui dosa-dosa saya pada para pendeta itu? Tidak bisakah saya meminta pada Tuhan saja untuk mengampuni saya? Apalagi menurut Alkitab Yesus berkata, berdoalah pada Bapak (Tuhan Yesus) untuk meminta ampunan atas dosa-dosa kita. Jika demikian, mengapa saya harus datang pada seorang pendeta untuk meminta pengampunan dosa?" papar Green.
Green merasa ada persoalan besar dalam doktrin Katolik, doktrin inkarnasi dimana tuhan bisa menjelma menjadi manusia.
Mencari Jawaban
Ketika usia 11 tahun, ayah Green mendapat pekerjaan sebagai Manajer Umum di Bank Barclays di Kairo. Sejak itu, sampai 10 tahun kemudian, Mesir menjadi tempat Green menghabiskan liburan sekolah, karena Green tetap bersekolah di Inggris.
Green selalu menikmati liburannya di Mesir, dan ketika ia kembali ke Inggris, banyak pertanyaan yang menghantui pikirannya. Doktrin ehidupan Barat yang ia kenal selama ini, selalu mengukur kebahagiaan hidup dengan kecukupan dan terpenuhi kebutuhan materi. Membandingkannya dengan kehidupan masyarakat Muslim di Mesir, Green jadi bertanya-tanya, mengapa ia harus tinggal di sini (Inggris)? Apa tujuan hidupnya? Untuk alasan apa manusia ada? Apa arti semua ini? apa artinya cinta? hidup itu untuk apa?
Green merenungi semua pertanyaan dalam benaknya. Bukan, hidupnya bukan hanya untuk sekolah, lulus ujian dengan nilai bagus, lalu kuliah, dapat gelar sarjana, kemudian dapat pekerjaan yang bisa memberikannya banyak uang. Lalu menikah, punya anak, mengirim mereka ke sekolah terbaik, dan seterusnya ...
"Tidak, saya tidak percaya hidup hanya untuk melakukan itu semua," tukas Green.
Green termotivasi untuk mencari jawaban sesungguhnya. Ia pun mulai mencari tahu tentang ajaran agama lain, yang ia pikir bisa memberikan pandangan dan pemahaman padanya tentang apa hidup itu dan apa tujuan hidup sebenarnya.
Sebuah peristiwa penting pun terjadi. Selama 10 tahun bolak-balik berlibur di Mesir, Green hanya mengenal satu orang yang mau ngobrol dengannya secara terbuka tentang Islam. Suatu hari Green terlibat perbincangan dengan orang itu, dan ia seperti merasa tinju seorang Mike Tyson mendarat di mukanya.
Dalam perbicangan selama 40 menit, orang itu akhirnya bertanya pada Green, "Kamu percaya Yesus itu Tuhan?" Green menjawab, "Ya." Lalu orang itu bertanya lagi, "Dan kamu percaya Yesus mati di salib?". Green menjawab, "Ya."
"Jadi kamu percaya Tuhan itu mati," tanya orang itu lagi.
Pertanyaan itu seakan menampar muka Green, dan ia tiba-tiba menyadari bahwa fakta itu sangat bodoh dan tidak masuk akal, bagaimana Tuhan bisa mati, mana mungkin manusia bisa membunuh Tuhan. Mendadak Green tersadar bahwa selama ini ajaran Katolik telah mengindoktrinasinya dengan doktrin-doktrin yang membuat hidupnya tak nyaman.
Dalam usia muda, antara 19-20 tahun, Green menjalani kehidupannya sebagai hippis. "Saya berkata pada diri sendiri, lupakan soal agama, soal spiritualitas, lupakan semuanya. Mungkin hidup itu tidak ada maknanya, tak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali menjadi orang kaya," ujar Green.
Persoalannya kala itu, Green tidak punya uang banyak. Ia lalu berpikir untuk mendapatkan uang banyak. Ia berpikir tentang negara-negara yang dianggapnya kaya dan mudah untuk mendapatkan uang, mulai dari Inggris, Amerika yang menjadi negeri impian, Jepang si negara kaya dari hasil kemajuan teknologinya, sampai Arab Saudi yang juga salah satu negara kaya.
Di titik Arab Saudi, Green mulai berpikir tentang apa agama yang dianut orang Arab, apa kita suci mereka? Green langsung mengingat Al-Quran dan ia pun pergi ke sebuah toko buku untuk membeli Al-Quran yang dilengkap dengan terjemahannya.
"Saya adalah seorang yang bisa membaca dengan cepat. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya naik kereta, duduk dekat jendela dan membaca terjemahan Al-Quran. Saya memandang ke luar jendela sejenak, lalu membaca lagi. Saya bisa mengatakan inilah momen ketika saya menyadari dan memercayai bahwa Quran berasal dari Allah Swt," tutur Green.
Tak sekedar membaca, Green ingin mencoba apa yang diajarkan dalam Al-Quran. Pulang ke rumah, Green mencoba menunaikan salat meski ia tak tahu caranya. Ia cuma ingat pernah melihat juru masak keluarganya di Mesir menunaikan salat, dan Green mencoba meniru gerakan salat yang pernah dilihatnya itu.
Menjadi Seorang Muslim
Di hari selanjutnya, Green pergi ke sebuah toko buku yang merupakan bagian dari sebuah bangunan masjid. Ia melihat buku-buku tentang Nabi Muhammad dan buku tentang salat. Ketika melihat buku-buku itu Green berdecak kagum, "Wow, fantastis !"
Seorang lelaki lalu menyapanya, "Maaf, apakah Anda muslim?"
Green lalu menjawab, "Dengar, saya percaya hanya ada satu Tuhan dialah Allah Swt dan saya percaya Muhammad adalah utusan-Nya,"
"Kamu seorang Muslim !" pekik orang tadi
"Terima kasih," jawab Green.
Orang itu lalu berkata lagi, "Ini hampir masuk waktu salat, Kamu mau salat bersama-sama?"
Hari itu hari Jumat, karenanya masjid penuh dengan jamaah yang akan salat Jumat. Green ikut salat meski masih bingung dan gerakannya banyak yang salah. Tapi hari itu menjadi hari bersejarah bagi Green, hanya dalam waktu lima menit, ia mendapatkan banyak saudara baru, yang bersedia mengajarinya tentang Islam. Ya, hari itu juga, Green secara resmi mengucapkan dua kalimat syahadat yang menandai kemuslimannya. (kw/oi)
Perang Irak memberi makna lain bagi "Unit Zaitun", nama pasukan Koera Selatan yang ikut dikirim ke Irak pada tahun 2006 sebagai bagian dari pasukan koalisi AS. Sebelum berangkat dan ditempatkan di kota Irbil, kota warga Kurdi di utara Irak, 37 anggota unit ini menyatakan diri masuk Islam dan bersyahadat di Masjid Hannam-dong, Seoul.
"Saya memutuskan menjadi seorang Muslim, karena saya merasa Islam sebagai agama yang lebih humanis dan damai dibandingkan agama-agama lainnya. Kalau kita bisa secara religius berinteraksi dengan warga lokal, saya pikir ini akan banyak membantu kami menjadi misi damai untuk melakukan rekonstruksi di Irak," kata Letnan Son Hyeon-ju dari pasukan khusus Brigade ke-11, salah satu tentara Korea Selatan yang masuk Islam.
Saat itu, pada hari Jumat di bulan Juli 2006, Hyeon-ju beserta 36 tentara Korea Selatan lainnya mengambil wudu, lalu duduk berjajar di dalam Masjid Hannam-dong. Dengan bimbingan imam masjid, mereka melafazkan dua kalimat syahadat dan mulai hari itu, para tentara yang akan diberangkatkan ke Irak itu resmi menjadi muslim.
Militer Korea mungkin tak pernah menyangka kesempatan untuk mempelajari Islam dan bahasa Arab bagi para tentara, terutama Unit Zaitun, yang akan dikirim ke Irak, akan membuat puluhan tentaranya masuk Islam. Pertimbangannya ketika itu, karena mayoritas penduduk kota Irbil adalah muslim, sedangkan tentara Korea yang akan dikirim adalah nonmuslim, maka para tentara itu dikirim ke Masjid Hannam-dong untuk belajar dan memahami tentang Islam dan komunitas Muslim. Ternyata, sebagian tentara itu malah benar-benar jatuh cinta pada Islam dan memutuskan untuk memeluk agama Islam.

Setelah melalui pencarian panjang, pada tahun 2009, Steven mantap bersyahadat dan hidup sebagai seorang muslim dengan nama islami Mustafa Samuel.
Ia lahir dalam keluarga penganut agama Kristen Ortodoks, dan mengenyam pendidikan di berbagai sekolah Kristen, mulai dari yang berbasis Katolik, Protestan, Maronit, Kristen Ortodoks dan aliran Kristen lainnya. Pengalaman ini membuat Steven memiliki cukup bekal pengetahuan agama, sekaligus membuatnya berpikir kritis terhadap ajaran Kristen yang diketahuinya.
"Saya tidak pernah benar-benar menerima dogma yang diajukan pada saya. Saya adalah orang yang akan selalu menanyakan apa saja, termasuk soal agama," ujar Steven.
Masa Pencarian
Ia mengingat kembali perjalanan hidupnya di era 1990-an, masa dimana ia benar-benar serius mencari tahu tentang banyak hal. Steven juga memutuskan pindah tempat tinggal dari Sydney ke Queensland, karena ia merasa Sydney bukan tempat yang baik buat dirinya.
"Saya pernah bekerja di sebuah toko minuman keras selama lima tahun, dan saya pernah menyaksikan perilaku manusia yang sangat buruk, yang tidak pernah Anda bayangkan. Saya kira, pengalaman ini mengguncang keyakinan saya akan kemanusiaan," ungkap Steven.
Setelah pindah ke Queensland, Steven berusaha mencari kebenaran yang ia inginkan, dan berdoa pada Tuhan agar menunjukkan kebenaran itu, dan ia akan menerimanya.
"Selama masa itu, saya ikut jamaah Mormon, Saksi Yehovah dan jamaah beragam aliran agama Kristen untuk menemukan kebenaran yang saya cari. Tapi saya tidak pernah bisa mendapatkan jawaban yang saya inginkan, 'mengapa saya di sini?', 'apa tujuan keberadaan saya?'" tutur Steven.
Peristiwa serangan 11 September 2001 di AS, menjadi titik balik pencarian Steven. Selama ini, di tengah pencariannya akan kebenaran, Steven tidak pernah melirik ajaran Islam, dan ia tidak tahu sama sekali tentang Islam.
"Saya tidak terlalu berusaha mencari tahu lebih jauh tentang Islam. Tapi saya kira, saya merasa bahwa mungkin umat Islam adalah umat yang benar-benar menjalankan ajaran agamanya dengan benar. Melihat bagaimana seluruh dunia bersikap perang terhadap orang Islam, satu hal yang menurut saya masuk akan, mungkin karena kaum Muslimin berada di jalur yang benar," ungkap Steven.
Namun cahaya Islam belum menerangi hati Steven. Steven masih terus melakukan pencarian dan melakukan perjalanan ke berbagai negara, mulai dari AS, Amerika Tengah, Eropa, termasuk ke Italia untuk bertemu dengan keluarganya, lalu ke Dubai dan Singapura.
Selama lima hari kunjungannya di Dubai, Steven berniat untuk melihat sendiri bagaimana Islam yang sebenarnya, karena Dubai adalah negara muslim. Tapi Steven mengaku kecewa, karena Dubai tidak seperti gambaran kota islami seperti yang ia bayangkan. Tapi ada satu hal yang benar-benar menarik perhatian Steven saat di Dubai.
"Saya pergi ke sebuah museum di sana, dan diseberang jalan museum saya melihat sebuah masjid. Saya benar-benar ingin menyeberang jalan dan melihat masjid itu untuk mencari tahu tentang Islam. Saya tidak sadar hari itu hari Jumat, saat umat Islam menunaikan salat Jumat. Saya belum paham ketika itu. Saya juga mengenakan pakaian kasual seperti yang digunakan warga negara asing lainnya, sementara orang-orang di masjid mengenakan busana lokal. Padahal saya benar-benar ingin sekali ke masjid itu," ungkap Steven.
Hidayah Quran dan Islam
Keinginannya untuk masuk ke masjid tidak pernah tercapai, karena ia harus kembali ke Australia. Steven mulai mencari tahu sendiri tentang Islam. Tahun 2006, ia membeli Quraan pertamanya, yang ia baca dalam kurun waktu 2,5 tahun. Steven mengaku syok, saat membaca isi terjemahan Quran.
"Saya baru tahu kalau Nabi Musa, Nabu Lut dan Nabi Nuh, serta nabi-nabi lainnya juga diceritakan dalam Quran. Saya benar-benar kaget dan berseru dalam hati 'Oh, wow'. Tak ada satu pun dalam Quran yang ingin mengobarkan perang atau mengarah pada kata ekstrimisme atau terorisme, atau apalah. Rasa ingin tahu saya makin besar. Oleh sebab itu, selama dua selanjutnya saya terus mempelajari Islam. Saya baca Quran sekali lagi," papar Steven.
Steven mengaku sudah ingin masuk Islam pada tahun 2008, tapi ia tidak menemukan seorang muslim yang bisa membantunya. Ia mengontak sebuah masjid, mengirim surat elektronik, dan meminta dikirimkan Al-Quran. Tapi tak ada yang menjawab suratnya. Ia jadi berpikir, "Baiklah, mungkin Allah tidak menginginkan saya menjadi seorang muslim" dan ini membuatnya agak panik.
Tahun 2009, Steven kembali ke Sydney dan bertemu seorang muslim yang menurutnya sangat ramah, namanya Samir. Awalnya Steven berpikir Samir bukan muslim karena tidak berjenggot, dan Samir punya menantu bernama Adam yang membuat Steven berpikir keduanya adalah Kristiani.
Saat itu, Steven sudah tahu bagaimana caranya salat, yang ia pelajari lewat internet. Steven bahkan sudah mulai menunaikan salat seperti layaknya muslim, sejak seminggu sebelum ia memutuskan untuk mengucapkan syahadat. Ia juga mulai meninggalkan kebiasaan minum minuman beralkohol dan tidak lagi makan daging babi.
Suatu hari, Samir membawakannya satu box pizza dan minuman ringan. Ia bertanya pada Samir apakah makanan itu halal, karena saar itu Steven masih mengira Samir bukan muslim. Samir menjawab bahwa pizza yang dibawanya halal. Saat itulah Steven baru tahu kalau sahabatnya itu seorang muslim, dan ia mengatakan, "Oh, saya ingin menjadi seorang muslim."
Keesokan harinya, Samir membawa Steven ke rumah seorang iparnya dan disanalah Steven mengucapkan dua kalimat syahadat. "Saya merasa sangat-sangat bahagia, dan sejak itu saya tidak pernah lagi menengok ke belakang," tukas Steven alias Mustafa Samuel.
Steven merasakan perubahan besar dalam dirinya setelah menjadi seorang muslim. "Islam membuat saya lebih disiplin dengan kewajiban salat lima waktu, wudu, menahan lapar saat Ramadan, menahan diri untuk tidak makan daging babi dan minum minuman keras. Islam mengubah semuanya, mengubah keseluruhan dinamika kehidupan saya. Saya jadi lebih tenang, tidak mudah marah, lebih seimbang dalam berpikir, jika dulu saya gampang emosi, sekarang saya lebih rileks," papar Steven.
"Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang yang sabar. Saya sangat bahagia memeluk Islam karena Islam memberikan saya banyak kebaikan yang tidak saya miliki sebelumnya," tandas Steven. (kw/oi)
Abdullah, Keislamannya Menjadi Cahaya Bagi Muslim dan Non-Muslim

Abdullah adalah salah satu dari sekian banyak mualaf di AS. Pendidikannya hanya sampai sekolah menengah atas, tapi ia pernah bertugas di kemiliteran AS selama beberapa tahun dimana ia belajar beberapa ketrampilan teknis. Sekarang, Abdullah mencari nafkah dengan menjadi tukang memperbaiki mesin fotokopi dan fax.
Tapi yang menarik adalah kisah Abdullah menjadi seorang muslim. Saat Perang Teluk kedua atau perang Irak yang diawali dengan invasi AS ke negeri itu, Abdullah masih aktif di dinas kemiliteran AS. Ia ditempatkan di basis militer AS di Arab Saudi. Suatu hari, Abdullah berbelanja di sebuah pasar di Saudi. Ia membeli beberapa barang kebutuhan.
Ketika Abdullah akan membayar barang-barang yang dibelinya pada penjaga toko, tiba-tiba terdengar suara azan dari masjid terdekat. Penjaga toko berkata, "sudah" sambil mengibaskan tangan dan menolak mengurus pembayaran Abdullah.
Abdullah menyaksikan bagaimana penjaga toko itu langsung menutup tokonya dan bergegas ke masjid. Abdullah cuma terbengong-bengong dan bertanya-tanya dalam hati melihat tingkah si penjaga toko itu, "Kenapa lelaki ini tidak mau mengambil uang pembayarannya, padahal harganya sudah disepakati."
Abdullah merasa, seumur hidupnya tidak pernah melihat orang yang menolak uang. Apalagi dalam bisnis, setiap orang pasti saling berlomba-lomba mendapatkan uang. "Orang macam apa penjaga toko ini, agama apa ini yang sangat diprioritaskan penjaga toko ini?" tanya Abdullah dalam hati.
Pikiran Abdullah dipenuhi dengan rasa ingin tahu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang agama yang dianut penjaga toko itu. Ia lalu membaca buku-buku tentang Islam selama bertugas di Saudi, dan akhirnya memutuskan masuk Islam saat kembali ke AS.
Di New York, Abdullah belajar dengan sejumlah ustaz yang mengajarinya pengetahuan dasar tentang Islam dan mengajarkannya membaca Al-Quran. Abdullah pun menjadi seorang muslim yang taat dan selalu berusaha menunaikan salat di masjid. Saat pindah ke Detroit, Abdullah meneruskan kebiasaannya itu dan aktif dalam berbagai kegiatan di masjid Detroit.
Abdullah kini sudah hapal beberapa surat dalam Al-Quran dan mampu membaca Al-Quran dengan lantunan suara yang indah. Ia sering ditunjuk untuk menjadi imam salat dan hapalan Quran-nya terus bertambah setiap hari. Dalam keseharian hidupnya, Abdullah juga berusaha mencontoh apa yang biasa dilakukan Rasulullah Saw. sampai cara Rasulullah tidur dengan posisi menghadap kanan, dan tangan dilipat dibawah kepala.
Suatu hari, ada jamaah masjid yang melihatnya berbaring seperti dan khawatir kalau Abdullah sakit. Tapi Abdullah menjawab bahwa ia baik-baik saja, "Beginilah posisi tidur Rasulullah Saw," kata Abdullah menjawab kekhatiran jamaah tadi.
Abdullah tanpa malu-malu selalu berusaha mempraktekkan apa yang diajarkan oleh Al-Quran dan hadis. Berkat teladan yang ditampakkannya sebagai seorang muslim, Abdullah berhasil membuat banyak anggota keluarganya yang tertarik dengan Islam dan akhirnya memutuskan masuk Islam. Abdullah juga mengajar dan mendidik anak-anaknya sendiri untuk menghapal Quran dan membiasakan diri salat ke masjid, meski di kala Subuh dan dalam kondisi cuaca yang teramat dingin.
Abdullah juga belajar bahasa Arab dengan bimbingan seorang ulama bernama Dr. Syaikh Ali Suleiman. Kemampuan berbahasa Arab-nya yang baik, membuatnya mudah menghapal surat-surat Al-Quran. Abdullah juga belajar tentang hadis, dan sekarang kerap diminta untuk memberikan khutbah Jumat. Dengan keislamannya, Abdullah menjadi penerang bagi banyak non-Muslim menuju ke cahaya Islam. (kw/TTT)
Pendeta Hindu: "Saya Rela Melepas Kenyamanan Hidup Demi Islam"
"Ini adalah nikmat Allah yang tiada tara. Dia telah melimpahkan kekayaan yang tak ternilai harganya pada saya, sebuah agama yang benar, yaitu Islam. Saya merasa menjadi orang yang paling beruntung dan paling sukses di dunia," demikian ungkapan Dr. Saroopji Maharaj saat ditanya bagaimana perasaannya setelah masuk Islam.
Dr. Maharaj adalah seorang tokoh Hindu terkemuka di Achariya Mahant, India. Ia beserta istri dan anak perempuannya masuk Islam pada bulan Ramadhan tahun 1986 di kota Bhopal, India. Setelah menjadi muslim, Maharaj menggunakan nama islami Islamul Haq.
"Setelah bersyahadat dan menjadi seorang muslim, saya merasa menemukan kehidupan yang lebih terarah dan terlepas dari liarnya kehidupan duniawi selama ini," ujarnya.
Tokoh terpandang, kaya dan berpendidikan di lingkungannya ini mengaku masuk Islam atas kemauan sendiri, setelah melakukan pencarian dan mempelajari beragam ajaran agama. Dalam pencariannya itu, Dr Maharaj akhirnya menemukan kebenaran Islam dan ia ingin menjadikan dirinya contoh untuk menolak pandangan masyarakat dunia yang selama ini menuding Islam disebarluaskan dengan kekerasan, dengan pedang.
Dr. Maharaj lahir dan dibesarkan di tengah keluarga Hindu yang taat. Ia sendiri pernah bekerja sebagai pendeta agama Hindu di beberapa institusi agama Hindu di India. Tugasnya, selain menyebarkan ajaran Hindu, mendata dan melatih para siswa calon pendeta.
Sebagai seorang doktor di bidang ilmu agama dan orientalisme, Dr Maharaj pernah diundang Paus Santo Paulus VI berkunjung ke Vatikan. Dalam kunjungannya, ia mengaku mendapat tekanan kuat agar ia mau menerima ajaran Katolik. Ia diminta untuk memberikan ceramah dengan tujuh topik berbeda. Namun ia berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Paus memberikan penilaian terbaik atas topik kekristenan yang dipaparkan Maharaj, dan untuk itu ia diberi penghargaan kehormatan berupa pengakuan sebagai warga kota Vatikan.
"Meski demikian, saya sama sekali tidak tertarik dengan ajaran Kristen. Saya pulang ke India dan melanjutkan pekerjaan saya sebagai pendeta agama Hindu," ujar Maharaj yang menguasai 12 bahasa asing ini.
Dr. Maharaj mempelajari 10 ajaran agama yang ada di dunia. Tapi, jauh sebelum memutuskan masuk Islam, Maharaj mengakui kebenaran ajaran Islam. Pada tahun 1981, ia diundang oleh Dada Dharam, seorang tokoh agama Hindu yang cukup dikenal masyarakat internasional. Dhram tiba-tiba menanyakan pada Maharaj, "Engkau sudah mempelajari berbagai agama di dunia. Agama mana yang menurutmu terbaik untuk manusia?" Jawaban Maharaj atas pertanyaan itu adalah "Islam".
Dharam lalu berkata, "Tapi Islam adalah agama yang terlalu mengekang umatnya".
Maharaj menjawab, "Agama yang disebut sangat mengekang itu, juga memberikan kebebasan. Justru agama yang dianggap tidak mengekang manusia malah memperbudak manusia. Manusia membutuhkan agama yang tetap 'mengekang'nya, agama yang mengatur manusia dengan ketat dalam masalah kehidupan duniawi, tapi membebaskannya dalam kehidupan akhirat kelak. Menurut saya, cuma Islam yang memenuhi kualifikasi sebagai agama yang paling baik."
"Islam memiliki akar yang kuat dan abadi. Takkan ada kekuatan di bumi yang bisa menghancurkan atau melenyapkannya. Islam mungkin bisa hilang dari kehidupan seorang muslim yang imannya lemah. Tapi Islam, biar bagaimanapun juga, akan terus tumbuh dan berkembang sepanjang masih ada seorang muslim yang memiliki semangat hijrah dan kemenangan, sepanjang dalam diri seorang muslim masih ada antusiasme untuk bersyukur dan bertakwa," papar Maharaj.
Setelah menjadi seorang muslim, Dr Maharaj melepas semua kekayaan harta benda dan kenyamanan hidup yang ia miliki selama ini. Ia rela melepas itu semua demi Islam. "Menjadi orang terkaya tidak akan memberikan kebahagiaan dan kepuasan pada diri saya, seperti yang saya dapatkan dari agama Islam," ujarnya.
Ditanya soal pendapatnya tentang sosok muslim yang baik. Maharaj menjawab bahwa tidak ada muslim yang lebih baik daripada Nabi Muhammad Saw. Namun ia mengatakan bahwa muslim yang baik seperti lebah yang hanya mau hinggap di bunga-bunga yang indah dan wangi, bukan di tempat-tempat yang kotor. Lebah memberikan madu, dan bukan racun. Madu yang bermanfaat bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi juga makhluk lain seperti manusia dan hewan lainnya.
"Itulah sebabnya, saya bersungguh-sungguh mengajak semua muslim di dunia agar tetap berpegang dan mematuhi apa yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw, berjalan menyeberangi sungai dunia dan sampai ke seberang dengan aman ..."
"Masih banyak waktu bagi kaum Muslimin untuk memperbaiki diri dan berkonsentrasi pada visi mereka pada kebenaran. Jika kaum Muslimin memiliki sikap seperti itu, Insha Allah, kita akan sukses dalam hal apapun yang kita lakukan," tukas Maharaj.
Dr Maharaj berencana untuk membuat gerakan dakwah yang kegiatannya mencakup upaya membela dan melindungi Islam, memberikan dukungan dan menggalang persatuan kaum Muslimin dan menyebarkan ajaran Islam yang mulia ke seluruh dunia dengan damai. (kw/TTT)
Anak-Anak Bahrain Mengantar Jermaine Jackson pada Cahaya Islam
Thursday, 06/10/2011 10:34 WIB
Sekarang, agama Islam menjadi bagian yang terpisahkan dari hidupnya. Jermaine, yang menyandang nama islami Muhammad Abdul Aziz ini, menceritakan perjalanannya menemukan cahaya Islam.
Kisahnya bermula pada tahun 1989. Ia bersama saudara perempuannya sedang menggelar konser ke sejumlah negara Timur Tengah, salah satunya Bahrain, dimana ia mendapat sambutan paling hangat dari para penggemarnya.
Selama berada di Bahrain, Jermaine berkesempatan bertemu dengan beberapa anak-anak dan berdialog dengan mereka. “Saya bertanya tentang banyak hal pada mereka dan mereka juga menanyakan pertanyaan khas anak-anak yang polos,” kenang Jermaine.
Ia melanjutkan, “Saat interaksi itu, mereka menanyakan tentang agama saya. Saya jawab, 'Saya seorang kristiani.' Lalu, saya bertanya apa agama mereka. Suasana tiba-tiba senyap. Kemudian mereka menjawab dengan kompak dan menyebut 'Islam'”
Interaksi singkat dengan anak-anak di Bahrain rupanya membekas di hati Jermaine, dan membawanya dalam sebuah diskusi panjang tentang Islam dengan sejumlah cendikiawan Muslim.
Diskusi-diskusi itu menimbulkan getaran-getaran kuat dalam pikirannya. Jermaine berusaha meyakinkan dirinya bahwa tak terjadi apa-apa. Namun ia gagal dan tak bisa menyembunyikan lagi perasaannya bahwa Islam telah memanggilnya. Dalam hati ia merasa bahwa dirinya sudah masuk Islam.
“Saya mengungkapkan hal ini pertama kali pada teman keluarga saya, Qunber Ali. Pada saat yang sama, ia ingin mengajak saya ke Riyadh, Arab Saudi. Kala itu, saya masih belum tahu banyak tentang Islam,” ujar Jermaine.
“Tapi di sana, ditemani oleh satu keluarga Saudi, saya pergi ke Makkah untuk menunaikan 'umrah'. Di kota Makkah-lah, untuk pertama kalinya secara terbuka saya menyatakan masuk Islam,” ungkapnya.
Jermain menyatakan, setelah masuk Islam, ia merasa seolah-olah telah terlahir kembali. Dalam Islam, ia menemukan semua jawaban yang tidak pernah ia temukan dalam ajaran Kristen. Khususnya, pertanyaan Jermaine soal kelahiran Yesus Kristus.
“Hanya Islam yang memberikan jawaban yang memuaskan. Untuk pertama kalinya, saya jadi percaya dengan agama itu sendiri. Saya berdoa, seluruh anggota keluarga saya bisa menghargai semua fakta ini,” harap Jermaine.
Keluarga Jackson adalah penganut Kristen sekte Saksi Yehova. Berdasarkan keyakinan agama ini, hanya 144.000 laki-laki yang akhirnya memenuhinya syarat untuk masuk surga.
“Bagaimana mungkin, itu sebuah kredo yang buat saya membingungkan. Dan saya makin terkejut ketika menyadari bahwa Alkitab ternyata disusun oleh banyak orang, terutama Alkitab yang disusun oleh Raja James ...”
“Saya bertanya-tanya, seseorang yang menyusun Alkitab dan mengklaim sumbernya dari Tuha, tapi orang itu sendiri tidak menjalankan apa yang ada dalam Alkitab,” imbuh Jermaine.
Ketika kembali ke AS, Jermaine melihat bagaiman media massa di AS menyebarkan propaganda buruk tentang Islam dan Muslim. Sebagai muslim, Jermaine sempat terkena gosip tak sedap yang mengganggu pikirannya. Namun ia bertekad akan melakukan yang terbaik untuk meluruskan citra negatif yang digambarkan media massa AS tentang Islam dan Muslim.
Ketika kembali AS, Jermaine membawa banyak buku tentang Islam dari Arab Saudi. Menurutnya, Michael Jackson--saang adik--tertarik membaca buku-buku itu dan meminta izin untuk membaca dan mempelajarinya.
“Sebelum ini, cara pandang Michael pada Islam dan Muslim sangat terpengaruh dengan propaganda media massa. Ia tidak memusuhi Islam, tapi juga tidak begitu menunjukkan rasa suka pada Muslim. Tapi setelah membaca buku-buku itu, Michael lebih banyak diam dan tidak mengatakan hal-hal yang buruk tentang Muslim,” papar Jermaine.
Ibu Jermaine yang tahu putranya sudah menjadi Muslim pun bertanya, apakah Jermaine mengambi keputusan itu dengan mendadak, atau setelah melalui pemikiran yang dalam dan panjang. Jermaine dengan mantap menjawab, “Saya memutuskannya setelah memikirkannya dalam-dalam.” Sementara adi perempuan Jermaine, Janet Jackson, cuma bisa tercengang mengetahui sang kakak menjadi seorang muslim.
Bagi Jermaine, masyarakat Muslim menjadi tempat yang paling aman di seluruh planet bumi. Ia mencontohkan kehidupan kaum perempuan. Kaum perempuan di Amerika mengenakan busana yang menggoda kaum lelaki melakukan pelecehan. Hal semacam itu tidak terpikirkan di tengah masyarakat Muslim.
“Saya yakin, jika ada tempat dimana kemanusiaan masih dijunjung tinggi, tempat itu tidak lain adalah masyarakat muslim. Pada saatnya, dunia akan mengakui realita ini,” tandas Jermaine.
Jermaine kini hidup bahagia bersama istri dan dua anaknya. Ia menerapkan kehidupan islami di tengah keluarganya, dan membimbing istrinya untuk terus mempelajari Islam. (kw/TTT)
Abdur Raheem Green: "Karena Saya Tak Percaya Tuhan Bisa Mati"
Ibu Green yang asli Polandia dan penganut Katolik Roma yang taat, membesarkan Green dan anak-anaknya yang lain dengan didikan ala Katolik. Green bahkan sempat disekolahkan di sebuah keuskupan Katolik Roma di Yorkshire di utara Inggris.
Hal pertama yang mengusik pikirannya tentang ajaran Katolik adalah ketika ia mendengar ibunya berdoa dan menyebut "Bunda Maria, ibu dari Tuhan Yesus". Green merasa aneh dengan doa itu, bagaimana bisa Tuhan punya ibu? Karena Yesus yang ia kenal selama dalam konsep ajaran Katolik adalah Tuhan, bukan nabi seperti dalam ajaran Islam.
"Saya duduk dan memikirkan tentang ibu dari tuhan itu. Jika Bunda Maria adalah ibu dari tuhan (Yesus), ia pastilah lebih juga tuhan yang lebih baik dari tuhan itu sendiri. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya," tutur Green mengenang pengalaman masa kecilnya.
Saat masuk sekolah di keuskupan, Green mulai lebih banyak memikirkan banyak hal, mempelajarinya dan melakukan riset terhadap ajaran Katolik yang dianutnya. Salah satunya tentang "kewajiban" pengakuan dosa yang ditetapkan oleh para pendeta di keuskupannya. Green masih ingat, seluruh siswa diwajibkan paling tidak sekali setahun untuk melakukan pengakuan dosa.
"Para pendeta selalu mengatakan, 'kalian harus mengakui semua dosa kalian, jika tidak mengakui semua dosa, pengakuan di akhir nanti tak ada gunanya dan tak satu pun dosa kalian yang akan diampuni'," ujar Green menirukan ucapan para pendeta di sekolahnya dulu.
Buat Green, doktrin pengakuan dosa adalah doktrin aneh dan tidak lebih dari konspirasi besar untuk mengendalikan orang lain. "Mengapa? Mengapa saya harus mengakui dosa-dosa saya pada para pendeta itu? Tidak bisakah saya meminta pada Tuhan saja untuk mengampuni saya? Apalagi menurut Alkitab Yesus berkata, berdoalah pada Bapak (Tuhan Yesus) untuk meminta ampunan atas dosa-dosa kita. Jika demikian, mengapa saya harus datang pada seorang pendeta untuk meminta pengampunan dosa?" papar Green.
Green merasa ada persoalan besar dalam doktrin Katolik, doktrin inkarnasi dimana tuhan bisa menjelma menjadi manusia.
Mencari Jawaban
Ketika usia 11 tahun, ayah Green mendapat pekerjaan sebagai Manajer Umum di Bank Barclays di Kairo. Sejak itu, sampai 10 tahun kemudian, Mesir menjadi tempat Green menghabiskan liburan sekolah, karena Green tetap bersekolah di Inggris.
Green selalu menikmati liburannya di Mesir, dan ketika ia kembali ke Inggris, banyak pertanyaan yang menghantui pikirannya. Doktrin ehidupan Barat yang ia kenal selama ini, selalu mengukur kebahagiaan hidup dengan kecukupan dan terpenuhi kebutuhan materi. Membandingkannya dengan kehidupan masyarakat Muslim di Mesir, Green jadi bertanya-tanya, mengapa ia harus tinggal di sini (Inggris)? Apa tujuan hidupnya? Untuk alasan apa manusia ada? Apa arti semua ini? apa artinya cinta? hidup itu untuk apa?
Green merenungi semua pertanyaan dalam benaknya. Bukan, hidupnya bukan hanya untuk sekolah, lulus ujian dengan nilai bagus, lalu kuliah, dapat gelar sarjana, kemudian dapat pekerjaan yang bisa memberikannya banyak uang. Lalu menikah, punya anak, mengirim mereka ke sekolah terbaik, dan seterusnya ...
"Tidak, saya tidak percaya hidup hanya untuk melakukan itu semua," tukas Green.
Green termotivasi untuk mencari jawaban sesungguhnya. Ia pun mulai mencari tahu tentang ajaran agama lain, yang ia pikir bisa memberikan pandangan dan pemahaman padanya tentang apa hidup itu dan apa tujuan hidup sebenarnya.
Sebuah peristiwa penting pun terjadi. Selama 10 tahun bolak-balik berlibur di Mesir, Green hanya mengenal satu orang yang mau ngobrol dengannya secara terbuka tentang Islam. Suatu hari Green terlibat perbincangan dengan orang itu, dan ia seperti merasa tinju seorang Mike Tyson mendarat di mukanya.
Dalam perbicangan selama 40 menit, orang itu akhirnya bertanya pada Green, "Kamu percaya Yesus itu Tuhan?" Green menjawab, "Ya." Lalu orang itu bertanya lagi, "Dan kamu percaya Yesus mati di salib?". Green menjawab, "Ya."
"Jadi kamu percaya Tuhan itu mati," tanya orang itu lagi.
Pertanyaan itu seakan menampar muka Green, dan ia tiba-tiba menyadari bahwa fakta itu sangat bodoh dan tidak masuk akal, bagaimana Tuhan bisa mati, mana mungkin manusia bisa membunuh Tuhan. Mendadak Green tersadar bahwa selama ini ajaran Katolik telah mengindoktrinasinya dengan doktrin-doktrin yang membuat hidupnya tak nyaman.
Dalam usia muda, antara 19-20 tahun, Green menjalani kehidupannya sebagai hippis. "Saya berkata pada diri sendiri, lupakan soal agama, soal spiritualitas, lupakan semuanya. Mungkin hidup itu tidak ada maknanya, tak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali menjadi orang kaya," ujar Green.
Persoalannya kala itu, Green tidak punya uang banyak. Ia lalu berpikir untuk mendapatkan uang banyak. Ia berpikir tentang negara-negara yang dianggapnya kaya dan mudah untuk mendapatkan uang, mulai dari Inggris, Amerika yang menjadi negeri impian, Jepang si negara kaya dari hasil kemajuan teknologinya, sampai Arab Saudi yang juga salah satu negara kaya.
Di titik Arab Saudi, Green mulai berpikir tentang apa agama yang dianut orang Arab, apa kita suci mereka? Green langsung mengingat Al-Quran dan ia pun pergi ke sebuah toko buku untuk membeli Al-Quran yang dilengkap dengan terjemahannya.
"Saya adalah seorang yang bisa membaca dengan cepat. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya naik kereta, duduk dekat jendela dan membaca terjemahan Al-Quran. Saya memandang ke luar jendela sejenak, lalu membaca lagi. Saya bisa mengatakan inilah momen ketika saya menyadari dan memercayai bahwa Quran berasal dari Allah Swt," tutur Green.
Tak sekedar membaca, Green ingin mencoba apa yang diajarkan dalam Al-Quran. Pulang ke rumah, Green mencoba menunaikan salat meski ia tak tahu caranya. Ia cuma ingat pernah melihat juru masak keluarganya di Mesir menunaikan salat, dan Green mencoba meniru gerakan salat yang pernah dilihatnya itu.
Menjadi Seorang Muslim
Di hari selanjutnya, Green pergi ke sebuah toko buku yang merupakan bagian dari sebuah bangunan masjid. Ia melihat buku-buku tentang Nabi Muhammad dan buku tentang salat. Ketika melihat buku-buku itu Green berdecak kagum, "Wow, fantastis !"
Seorang lelaki lalu menyapanya, "Maaf, apakah Anda muslim?"
Green lalu menjawab, "Dengar, saya percaya hanya ada satu Tuhan dialah Allah Swt dan saya percaya Muhammad adalah utusan-Nya,"
"Kamu seorang Muslim !" pekik orang tadi
"Terima kasih," jawab Green.
Orang itu lalu berkata lagi, "Ini hampir masuk waktu salat, Kamu mau salat bersama-sama?"
Hari itu hari Jumat, karenanya masjid penuh dengan jamaah yang akan salat Jumat. Green ikut salat meski masih bingung dan gerakannya banyak yang salah. Tapi hari itu menjadi hari bersejarah bagi Green, hanya dalam waktu lima menit, ia mendapatkan banyak saudara baru, yang bersedia mengajarinya tentang Islam. Ya, hari itu juga, Green secara resmi mengucapkan dua kalimat syahadat yang menandai kemuslimannya. (kw/oi)
Dibalik Perang Irak, Tentara-Tentara Korea Selatan Masuk Islam
Perang Irak memberi makna lain bagi "Unit Zaitun", nama pasukan Koera Selatan yang ikut dikirim ke Irak pada tahun 2006 sebagai bagian dari pasukan koalisi AS. Sebelum berangkat dan ditempatkan di kota Irbil, kota warga Kurdi di utara Irak, 37 anggota unit ini menyatakan diri masuk Islam dan bersyahadat di Masjid Hannam-dong, Seoul.
"Saya memutuskan menjadi seorang Muslim, karena saya merasa Islam sebagai agama yang lebih humanis dan damai dibandingkan agama-agama lainnya. Kalau kita bisa secara religius berinteraksi dengan warga lokal, saya pikir ini akan banyak membantu kami menjadi misi damai untuk melakukan rekonstruksi di Irak," kata Letnan Son Hyeon-ju dari pasukan khusus Brigade ke-11, salah satu tentara Korea Selatan yang masuk Islam.
Saat itu, pada hari Jumat di bulan Juli 2006, Hyeon-ju beserta 36 tentara Korea Selatan lainnya mengambil wudu, lalu duduk berjajar di dalam Masjid Hannam-dong. Dengan bimbingan imam masjid, mereka melafazkan dua kalimat syahadat dan mulai hari itu, para tentara yang akan diberangkatkan ke Irak itu resmi menjadi muslim.
Militer Korea mungkin tak pernah menyangka kesempatan untuk mempelajari Islam dan bahasa Arab bagi para tentara, terutama Unit Zaitun, yang akan dikirim ke Irak, akan membuat puluhan tentaranya masuk Islam. Pertimbangannya ketika itu, karena mayoritas penduduk kota Irbil adalah muslim, sedangkan tentara Korea yang akan dikirim adalah nonmuslim, maka para tentara itu dikirim ke Masjid Hannam-dong untuk belajar dan memahami tentang Islam dan komunitas Muslim. Ternyata, sebagian tentara itu malah benar-benar jatuh cinta pada Islam dan memutuskan untuk memeluk agama Islam.

Salah seorang anggota pasukan Unit Zaitu dari Divisi ke-11 Angkatan Bersenjata Korea Selatan, Kopral Paek Seong-uk yang masih berusia 22 tahun mengatakan, "Di kampus, saya mengambil jurusan bahasa Arab dan setelah membaca isi Al-Quran, saya jadi sangat tertarik pada Islam. Saya pun memutuskan untuk menjadi seorang muslim selama mengikuti program yang diselenggarakan Unit Zaitun, sebuah pengalaman religius buat saya."
Kopral Paek Seong-uk dengan antusias mengungkapkan keinginannya jika sudah sampai di Irak. "Saya ingin ikut serta dalam acara-cara keagamaan dengan warga lokal, sehingga mereka bisa merasakan rasa persaudaraan. Saya juga juga ingin memastikan warga lokal bahwa pasukan Korea Selatan bukan pasukan penjajah, tapi pasukan yang dikerahkan untuk membantu misi kemanusiaan di Irak," ujar Paek Seong-uk.
Tentara-tentara Korea yang memilih menjadi muslim itu, paham betul pentingnya homogenitas agama di tengah komunitas Muslim. "Jika agama Anda sama, Anda tidak akan diperlakukan sebagai orang asing, tapi akan diperlakukan seperti layaknya warga lokal. Lebih dari itu, Islam mengajarkan tata cara perang yang beradab. Muslim tidak boleh menyerang kaum perempuan, bahkan dalam peperangan," kata seorang pejabat militer Korea Selatan, mengomentari puluhan tentaranya yang masuk Islam. (kw/chosun.com/TTI)
Suara azan yang didengarnya pertama meninggalkan kesan yang begitu mendalam dalam hatinya. Ia tak pernah mengerti apa yang terjadi, tapi sejak itu ia merasa ada sesuatu yang berubah pada dirinya. Ia ingin tahu apa makna semua itu, apa arti kata-kata yang didengarnya saat azan. Dan semua itu terjawab bertahun-tahun kemudian.
Namanya Janna, orang Yunani asli tapi lahir di Jerman. Keluarganya adalah penganut agama Kristen ortodok yang sangat taat. Kedua oran tuanya memastikan semua anak-anaknya, termasuk Janna, dididik dan dibesarkan dengan ajaran Kristen, dengan cara ortodok yang tradisional.
Keluarga Janna selalu pergi liburan bersama-sama. Ketika berusia antara 12-13 tahun, Janna dan keluarga besarnya berlibur ke Uni Emirat Arab. Inilah liburan yang paling berkesan bagi Janna sepanjang hidup. Siapa kira liburan itu yang kemudian menuntunnya pada Islam. Agama yang dipeluknya sekarang.
Janna kembali mengingat kembali liburannya ketika itu. Sepekan pertama, ia dan keluarganya berkeliling Uni Emirat Arab. Suatu hari, di hari Jumat, mereka sedang dalam perjalanan menuju Pasar Al-Souq. Tiba-tiba terdengar suara azan dan Janna melihat orang-orang di sekitarnya langsung menghentikan aktivitasnya. Yang sedang mengendarai mobil pun berhenti, mengambil sajadah, menggelarnya, lalu menunaikan salat meski di pinggir jalan.
"Suara azan telah mengubah sesuatu dalam diri saya, subhanallah. Saya tidak tahu apa itu, tapi setelah itu saya merasa ada perubahan dan perubahan itu mengendap dalam diri saya. Saya ingin tahu arti kata-kata dalam azan, apa maknanya," tutur Janna mengingat kembali pengalamannya ketika pertama kali mendengar azan.
Takut Kematian
Janna adalah tipikal orang yang sangat takut dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian. Ia selalu menghindari perbicangan tentang kematian dan tidak pernah menghadiri acara pemakaman. Tapi semuanya berubah ketika ia menyaksikan sendiri proses kematian di depan matanya.
"Paman saya menghembuskan napas terakhirnya di hadapan saya. Pengalaman itu mengubah saya. Saya mulai merasa bahwa kehidupan ini tidak seperti yang ada dalam pikiran saya. Kita menginvestasikan banyak tenaga dan waktu untuk banyak hal yang bisa lenyap begitu saja dalam hitungan detik," tukas Janna.
Tapi setelah menyaksikan proses kematian pamannya, Janna hampir tak bisa tidur dengan tenang. Ia menjalani masa-masa dimana ia terbangun tiga kali sepanjang malam, hanya untuk melihat apakah ayah dan ibunya masih bernapas.
Setelah belajar Islam, Janna tahu apa penyebab ketakutannya pada hal-hal yang berkaitan dengan kematian. "Saya selalu merasa takut pada kematian karena saya berpikir bahwa kematian adalah akhir dari segalanya," ujar Janna. Sedangkan dalam Islam, kematian hanya pemutus kehidupan di dunia untuk melanjutkan kehidupan yang lebih kekal di akhirat kelak.
"Ketakutan itu membuat saya makin bersemangat untuk mencari tahu tentang Islam. Saya sudah mempelajari agama-agama lainnya, tapi saya belum menemukan kebenaran apapun dalam agama-agama itu atau kebenaran yang membuat saya benar-benar yakin," tukas Janna.
Biografi Nabi Muhammad dan Syahadat
Janna merasa benar-benar yakin dengan Islam ketika membaca biografi Nabi Muhammad Saw, yang mengingatkan nya pada apa yang pernah ia ketahui dan pernah ia baca tentang Yesus (Nabi Isa).
"Dan saya terus membaca dan membaca. Figur ini (Nabi Muhammad Saw.) adalah orang yang mulia dengan karakter dan kepribadian yang sangat mengagumkan, dan saya kira, saya tidak pernah menemukan orang seperti ini sebelumnya," papar Janna.
Setelah membaca buku biografi itu, Janna yakin bahwa saya harus menghapus semua yang saya tahu tentang Islam yang selama ini ternyata salah. Janna lalu memulai kembali pencariannya. Tidak butuh waktu lama bagi Janna untuk mengetahui bahwa Islam-lah kebenaran itu dan tidak ada satu agama pun di dunia ini yang bisa menandinginya.
"Ketika saya mulai membaca buku-buku tentang Islam, saya menemukan semua jawaban yang tidak saya temukan dalam agama saya sendiri," tukas Janna.
Meski sudah merasa yakin dengan Islam, Janna masih takut untuk bersyahadat karena ia tahu orang tua dan keluarganya tidak akan pernah menerima Islam. "Jika mereka tahu tentang hal ini, hidup saya akan berubah secara dramatis," kata Janna.
Ia lalu bertemu dengan seorang muslimah asal Mesir, bernama Noha di Jerman. "Noha banyak membantu saya, karena saya berjumpa dengannya tepat ketika saya mulai berdoa agar saya segera menemukan kebenaran dan memiliki keberanian atas apa yang sedang saya lakukan," ungkap Janna.
Janna dan Noha sering bertemu dan berdiskusi tentang Islam. Noha menjelaskan semua hal tentang Islam dan menjawab semua pertanyaan Janna, karena Janna yakin bahwa agamanya selama ini salah dan ia tidak mau hidup dalam kesalahan itu.
Sekira satu setengah bulan Janna memikirkan tentang kebenaran yang diketahuinya. Ia pun memutuskan masuk Islam. Janna mengucapkan dua kalimat syahadat di asrama mahasiswi di Jerman. Awalnya hanya ada Noha dan Janna di ruangan, tapi akhirnya banyak mahasiswa yang yang tahu ada seseorang yang akan masuk Islam, sehingga ruangan akhirnya dipenuhi 20 orang yang menjadi saksi keislaman Janna.
"Alhamdulillah, hari itu, saya mengucapkan syahadat. Saya tidak akan pernah melupakannya, dan saya tidak akan pernah melupakan pertama kali saya menunaikan salat," tukas Janna. (kw/oi)
Khadija Acuna Pihan, perempuan asal Jerman ini bersyahadat pada tahun 2005. Pilihannya menjadi seorang muslimah membuatnya harus "kehilangan" seluruh keluarganya yang tidak bisa menerima keislamannya. Namun ia yakin, suatu saat Allah Swt akan mengembalikan keluarganya dan memahami mengapa ia memilih masuk Islam.
"Islam adalah jalan kebenaran yang akan saya jalani. Sekarang, setiap kali saya berdoa, saya merasa sedang bicara pada Tuhan, dan Tuhan sedang mendengarkan saya," kata Pihan mengawali cerita di awal ia menjadi seorang muslimah.
Ia mengatakan, Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas. "Siapa yang membaca Qur'an dengan hatinya, akan menemukan sebuah agama yang terang. Saya meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan dan saya bahagia menemukan jalan saya dengan-Nya. Saya yakin sudah melakukan tindakan yang benar dengan masuk Islam. Saya bersyukur, Tuhan menuntun saya ke jalan yang benar," ujar Pihan yang memilih nama Islam, Khadija setelah bersyahadat.
Acuna Pihan lahir dan dibesarkan dalam ajaran Kristen. Ia dan keluarganya rajin ke gereja. Namun, saat datang ke gereja dan mendengar cerita pendeta bahwa Yesus adalah anak Tuhan, selalu terpintas dalam pikiran Pihan mengapa pendeta ini bicara seperti itu dan Pihan tidak mau mengarnya.
"Saya membaca doa yang saya pelajari sejak saya berusia 7 tahun. Tapi saya merasa tak seorang pun mendengarkan doa saya, bahkan Yesus. Mengapa orang-orang ini datang ke gereja dan setelah itu para lelaki pergi ke restoran untuk minum minuman keras, lalu para perempuan bertengkar dengan mereka karena pulang dalam keadaan mabuk. Inikah ajaran Kristen?" tanya Pihan dalam hati.
Pihan yakin pasti ada hal lain yang diajarkan agama. Ia pun mempelajari berbagai agama. "Banyak agaman yang aneh. Orang menyembah Buddha sebagai Tuhan atau menyembah matahari, sapi, bunga, bahkan setan. Hal semacam itu bukan agama saya," batin Pihan ketika itu.
Ia lalu menemukan buku tentang Nabi Muhammad Saw. dan mengetahui bagaimana Rasulullah Saw. menyebarkan agama Islam serta betapa berbahayanya hidup sebagai seorang muslim di zaman itu. Pihan juga membaca sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, mulai dari silsilah keluarganya, kehidupan rumah tangganya dan siapa saja istri-istri beliau.
"Saya tidak bisa berhenti saat membaca buku itu, sehingga saya membaca semua buku-buku itu dalam satu hari. Buku yang saya baca menceritakan tentang kitab suci Al-Quran yang berisi firman-firman Allah dan rasa ingin tahu saya tentang Quran pun muncul," ujar Pihan.
"Ketika saya membaca surat Al-Fatihah, jantung saya berdebar hebat. Saya terus membaca surat-surat lainnya dan saya hati saya tenang saat membacanya. Ketika saya membaca surat Maryam dan mengetahui apa yang tertulis di surat itu, saya jadi paham mengapa saya tidak bisa memercayai apa yang dulu dikatakan pendeta di gereja," tukasnya.
Ia melanjutkan, "Dalam Kristen, kami belajar bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan kami harus berdoa padanya. Itulah yang kami lakukan selama ini. Lalu, saya membaca Quran yang usianya sudah ribuan tahun, dan isinya selalu sama bahwa Yesus hanya seorang nabi seperti juga Nabi Muhammad Saw serta nabi-nabi lainnya. Quran juga menyatakan bahwa Tuhan tidak punya anak dan kita dilarang menyembah Tuhan yang lain kecuali Allah Swt."
Kata-kata dalam Quran yang membuat Pihan beralih ke agama Islam. Selain itu, yang membuatnya meyakini Quran, meski kitab suci itu sudah berusia ribuan tahun, isinya tidak berubah. Berbeda dengan kitab suci umat Kristiani, Kita Perjanjian Lama isinya berbeda dengan Kitab Perjanjian Baru, padahal dalam ajaran Kristen disebutkan bahwa Tuhan mengatkan "Jangan mengubah kata-kata ku kecuali aku perintahkan kalian mengubahnya."
"Kristen memiliki 10 ajaran suci. Salah satunya adalah dilarang membunuh manusia. Tapi ketika orang-orang Kristen datang ke Amerika Selatan, mereka membunuh banyak orang Indian karena orang-orang Indian itu menolak masuk Kristen. Hal yang sama dilakukan orang-orang Kristen di Afrika," papar Pihan.
"Jadi, bagaimana mereka mengajarkan kita jangan membunuh, jika mereka sendiri membunuh. Semua itu membuat saya ingin pindah agama. Saya capek dengan kebohongan ajaran Kristen dan saya menemukan Islam satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas ..."
"Islam membawa kembali kebebasan dalam jiwa saya dan saya bahagia sejak awal saya masuk Islam. Islam adalah hidup saya. Tanpa Islam saya bukan apa-apa, dan jika Allah Swt memalingkan wajah-Nya, saya tak mampu hidup," tandas Pihan. (kw/RtI)
Sebelum mengenal Islam, Karlsson adalah seorang lelaki biasa yang tidak religius sama sekali. Ia mengaku sebagai tipikal orang yang materialistis. Tak pernah sedikit terlintas dalam pikirannya tentang keberadaan Tuhan.
"Saya menjalani kehidupan selama 25 tahun tanpa pernah benar-benar memikirkan tentang eksistensi Tuhan, atau hal-hal yang berkaitan dengan spiritual," ujar lelaki asal Swedia itu.
Tapi ia masih ingat kenangan masa kecilnya, saat masih duduk di kelas 7, pernah menulis cerita tentang akan seperti apa masa depan yang ingin dijalaninya kelak. Karlsson menggambarkan dirinya kelak sebagai seorang progammer komputer yang sukses--padahal saat itu ia tidak pernah menyentuh komputer--dan hidup dengan seorang istri yang muslim.
"Waktu itu, kata 'Muslim' buat saya adalah perempuan yang mengenakan baju panjang, longgar dan memakai jilbab. Tapi saya tidak tahu dari mana pikiran semacam itu datang dan melintas di kepala saya," ujarnya mengenang impian masa kecilnya.
Waktu berjalan. Karlsson menyelesaikan kuliahnya dan mulai bekerja. Ia sudah punya penghasilan sendiri dan pidah ke apartemen yang dibelinya. Kala itu, ia mulai menekuni minatnya pada dunia fotografi amatir dan aktif dalam kegiatan-kegiatan fotografi.
Karlsson mengaku tidak tahu persis bagaimana ceritanya sampai ia kemudian mengenal Islam. Menurutnya, semua terjadi begitu saja tanpa ia rencanakan. "Banyak hal yang saya sendiri tidak bisa menjelaskan, apa yang saya lakukan, dan mengapa saya melakukannya," ungkap Karlsson.
Ia melanjutkan, "Saya tidak bisa mengingatnya, mengapa saya menelpon Organisasi Informasi Islam di Swedia dan minta didata untuk berlangganan buletin yang mereka terbitkan, mengapa lalu saya membeli Al-Quran terjemahan dan membeli sebuah buku yang sangat bagus berjudul 'Islam: Our Faith'. Saya melakukannya begitu saja."
Setelah membaca seluruh terjemahan Al-Quran, Karlsson mengakui isi Al-Quran sangat indah dan logis. Tapi ia belum merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya.
Akhirnya Mengakui Tuhan
Setahun kemudian, ketika Karlsson berkunjung ke sebuah pulau cantik bernama Pretty Island, ia merasakan sesuatu yang sangat luar biasa dalam hatinya, saat memotret pemandangan musim gugur di pulau itu.
"Saya merasakan sebuah perasaan yang fantastis. Saya merasa seolah-olah saya kecil sekali di sesuatu yang sangat besar, alam semesta kepunyaan Allah ... Luar Biasa. Saya merasa betul-betul rileks dan bersemangat. Tiba-tiba saja saya merasakan kehadiran Tuhan kemanapun mata saya memandang. Saya belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya," kenang Karlsson.
Kenangan akan keindahan di pulau itu terus melekat hingga ia kembali ke rumah. Karlsson belum tergerak untuk mengenal Tuhan lebih delat. Suatu hari, sepulang kerja, Karlsson naik bis dan ia melihat sebagian besar penumpang bis tertidur. Sepanjang perjalanan, Karlsson menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah, gumpalan awan yang menebar warna merah muda dan oranye menyatu, menghadirkan sebuah lukisan yang membuat terpana siapa pun yang melihatnya.
"Selama beberapa menit saya merasakan kedamaian yang total dan sebuah pemahaman bahwa semua ini adalah hasil karya Tuhan. Saya sangat merindukan momen seperti ini terjadi lagi," ujar Karlsson.
Harapannya terwujud. Suatu bangun tidur di suatu pagi, ia merasakan pikirannya jernih sekali dan yang pertama melintas dalam pikirannya adalah bagaimana bersyukur pada Tuhan, bahwa Tuhan telah membangunkannya setiap pagi, memberikan harapan. "Rasanya alamiah saja, seolah saya sudah terbiasa melakukannya sepanjang hidup saya," ungkap Karlsson.
Sejak mengalami hal itu, Karlsson tidak lagi membantah keberadaan Tuhan. Sebagai orang yang selama 25 tahun menolak keberadaan Tuhan, ia mengakui, perubahan itu bukan perkara gampang baginya. Tapi setelah itu, Karlsson merasakan berbagai hal-hal yang luar biasa dialaminya. Ketika tinggal di AS untuk beberapa lama, Karlsson pun mulai berdoa, mulai belajar untuk fokus pada Tuhan dan mendengarkan apa kata hatinya. Puncaknya terjadi pada suatu akhir pekan yang indah di New York.
Nekad ke Masjid dan Bersyahadat
Karlsson datang ke sebuah masjid di New York dan berkenalan dengan beberapa muslim di masjid itu. Kekutan dan rasa khawatir yang ia rasakan sebelumnya saat akan masuk masjid, seketika sirna. Pengurus masjid memberinya bahan bacaan tentang Islam. Karlsson juga berkunjung ke rumah teman-teman muslim barunya, dan banyak berdiskusi dengan mereka.
"Apa yang mereka katakan, dan jawaban yang mereka berikan, semua masuk akal. Islam menjadi bagian penting dalam hidup saya. Saya pun mulai belajar salat dan mengikuti salat Jumat pertama saya ..."
"Saya menyelinap, duduk di barisan paling belakang. Saya tidak paham apa yang diucapkan imam, tapi saya menikmati khutbahnya. Setelah khutbah selesai, kami semua membuat barisan dan melaksanakan salat dua rakaat. Itulah salah satu pengalaman paling luar biasa yang saya pernah saya rasakan dalam perjalanan saya menuju Islam. Saya melihat sekitar 200 jamaah laki-laki, berserah diri sepenuhnya hanya pada satu Tuhan, memuji Tuhan, sungguh mengagumkan," tutur Karlsson yang saat itu belum juga memutuskan masuk Islam.
Suatu ketika, ia membaca buku berjudul “Twelve Hours” kisah seorang perempuan Inggris yang masuk Islam. Buku itulah yang benar-benar membawa perubahan bagi dirinya. Ia menangis saat membacanya, dan ia merasa bahwa ia tidak mau menengok ke belakang lagi, dan tidak akan menahan lagi keinginannya untuk memeluk Islam.
Liburan musim panas, Karlsson membulatkan tekadnya untuk menjadi seorang muslim. Hari pertama musim panas, udara masih terasa dingin. Karlsson mengurungkan niatnya untuk ke masjid dan menundanya sampai kondisi mulai menghangat.
Suatu pagi, langit nampak kelabu. Angin dingin berhembus, menembus jendela kamar tidur Karlsson, seakan membawa pesan untuknya, bahwa saatnya telah tiba dan ia tidak bisa menundanya terus. Karlsson beranjak dari tempat tidurnya, mandi, mengenakan pakaian bersih, menyambar kunci mobilnya dan mengarahkan kendaraannya ke masjid.
Di masjid, ia mendekati beberapa orang yang sedang berkumpul dan mengatakan niatnya untuk masuk Islam. Dan seusai salat Zuhur, seorang imam menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan para pengunjung masjid. Setelah bersyahadat, ia diberi nama islami "Ibrahim".
"Alhamdulillah. Hati saya betul-betul lega. Apalagi keluarga dan semua teman menerima keislaman saya. Tentu saja mereka tidak bisa memahami semua yang lakukan setelah menjadi seorang muslim, seperti salat lima waktu, tidak makan daging babi, mereka pikir saya mempraktekkan sebuah tradisi yang asing, yang akan lenyap termakan zaman. Tapi saya akan membuktikan bahwa perkiraan mereka salah. Insya Allah," tandas Ibrahim Karlsson. (ln/PI)
"Kenangan di awal masa kecil saya adalah mendengar suara lonceng gereja sebagai panggilan misa pada hari Minggu pagi, di sebuah kota kecil dan terpencil tempat saya dibesarkan. Gereja Methodis itu sudah tua, bangunannya terbuat dari kayu, dilengkapi dengan menara yang diatasnya terdapat lonceng gereja. Jaraknya cuma dua blok dari rumah saya. Ketika lonceng gereja berbunyi, kami sekeluarga berangkat ke gereja untuk mengikuti misa setiap hari Minggu pagi," Dr Jerald F. Dirks mengenang kembali masa kecilnya, mengawali kisahnya sebelum menjadi seorang muslim.
Di tahun 1950-an. gereja menjadi pusat kehidupan warga di kota-kota terpencil. Sejak kecil sampai kelas delapan, Dirks rutin mengikuti sekolah Alkitab yang diselenggarakan setiap bulan Juni, selama dua minggu. Ia juga tetap rajin datang ke gereja untuk mengikuti misa setiap Minggu pagi, dilanjutkan dengan sekolah Minggu. Dirks kecil mengumpulkan banyak pin sebagai tanda kerajinannya hadir setiap minggu dan mendapat sejumlah penghargaan karena mampu menghapal isi Alkitab.
Ketika Dirks duduk di bangku SMP, gereja Menthodis di kota tempatnya tinggal ditutup, sehingga ia dan keluarganya pindah ke gereja Methodis di kota lain yang terdekat. Gereja itu lebih besar sedikit dibandingkan gereja di kotanya. Pada masa itulah, Dirks mulai merasa terpanggil untuk menjadi pastor dan mulai memusatkan perhatiannya untuk mengabdi pada gereja.
Dirks yang mulai berangkat remaja aktif dalam organisasi Methodist Youth Fellowship, yang mengantarnya menjadi salah satu pengurus konferensi dan ketua distrik. "Saya juga menjadi 'penceramah' tetap dalam acara tahunan Youth Sunday," kata Dirks.
Aktivitas khutbahnya mulai menarik perhatian masyarakat luas. Dirks memberikan khutbahnya di berbagai tempat, selain di gereja. Pada usia 17 tahun, ia sudah menjadi mahasiswa di Harvard College. Tekadnya menjadi pastor sudah bulat. Oleh sebab itu, ia juga mendaftarkan diri ke kursus perbandingan agama yang berlangsung selama dua semester. Pengajar kursus itu adalah Wilfred Cantwell Smith, yang memiliki spesifikasi sebagai pakar Islam.
"Selama kursus, saya tidak terlalu perhatian pada Islam dibandingkan perhatian saya pada agama lain, seperti Hindu dan Budha. Kedua agama yang saya sebut terakhir terlihat lebih mempengaruhi batin dan masih asing buat saya," tutur Dirks.
"Sebaliknya, Islam terlihat mirip dengan agama Kristen yang saya anut. Karenanya, saya tidak terlalu konsentrasi penuh pada Islam. Tapi, saya masih ingat tugas karya tulis tentang konsep wahyu dalam Al-Quran. Untuk memenuhi tuntutan dan standar kursus yang ketat, saya berhasil menemukan sebuah perpustakaan dimana terdapat sekitar 12 buku tentang Islam, yang semuanya ditulis oleh penulis non-Muslim. Saya juga menemukan dua terjemahan berbeda dalam bahasa Inggris tentang arti Al-Quran," sambung Dirks.
Di Harvard ia dijuluki "Hollis Scholar" karena Dirks menjadi salah satu calon mahasiswa teologi yang selalu diperhitungkan di akademinya. Ia lalu menjadi pastor muda di United Methodist Church, dan tak berapa lama kemudian mendapat lisensi sebagai pastor dari gereja tersebut.
Dirks lulus dari Harvard College tahun 1971. Ia lalu mendaftarkan diri ke Harvard Divinity School dan mendapat gelar Master of Divinity pada tahun 1974, setelah sebelumnya ditahbiskan masuk dalam jajaran kepastorang United Methodist Churc. Selama menyelesaikan pendidikan seminarinya, Dirks juga menyelesaikan program pendidikan untuk menjadi rohaniwan di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston. Setelah itu, ia bertugas sebagai pastor di dua gereja United Methodist di daerah terpencil di Kansas, selama beberapa tahun.
Menerima Islam
Dirks mulai berminat pada Islam setelah ia berkenalan dan berinteraksi dengan sejumlah orang Arab Amerika yang kebetulan muslim, untuk keperluan menerjemahkan dokumen-dokumen bahasa Arab, karena pada saat itu Dirks dan istrinya sedang melakukan riset tentang sejarah kuda Arab.
Kontak pertamanya adalah seorang muslim bernama Jamal pada suatu musim panas di tahun 1991. Untuk membantu menerjemahkan dokumen berbahasa Arab, Jamal datang ke rumah Dirks. Sore hari, ketika akan pulang, Jamal meminta izin menggunakan kamar mandi di rumah Dirks untuk berwudu karena sudah tiba waktu salat. Jamal lalu mengambil meminta lembaran koran yang digunakannya sebagai sajadah.
"Tanpa saya sadari, ketika itu Jamal sebenarnya sudah mempraktekkan dakwah. Ia tidak mengomentari fakta bahwa kami non-Muslim, dia tidak ceramah apapun tentang agamanya pada kami. Dia hanya memberi contoh pada kami," ujar Dirks.
Hampir satu setengah tahun berinteraksi dengan Jamal. Jamal tidak pernah menceritakan apapun tentang Islam atau bertanya tentang agama Dirks. Sebaliknya, Dirks justru mulai belajar dari Jamal, bagaimana ia salat tepat waktu, bagaimana ia berperilaku dalam berbisnis maupun bersosialisasi, dan terutama cara Jamal berinteraksi dengan dua anaknya.
Lewat Jamal, Dirks mulai berkenalan dengan keluarga Arab muslim lainnya. Dirks memperhatikan bagaimana keluarga-keluarga muslim itu menerapkan etika yang menurut Dirks, lebih tinggi dibandingkan etika yang diterapkan oleh keluarga-keluarga Amerika.
Setelah menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan keluarga muslim, tahun 1992, Dirks mulai menanyakan pada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan yang serius, dimanakah ia dan apa yang ia lakukan. Desember 1992, Dirks mengakui bahwa ia tidak menemukan pertentangan antara keyakinan religiusnya dengan ajaran Islam. Dirks merasa siap untuk mengakui bahwa Tuhan itu Esa dan mengakui Nabi Muhammad Saw. Ia menyingkirkan buku-buku tentang Islam yang ditulis penulis non-Muslim dan mulai membaca terjemahan Al-Quran. Tapi ia masih ragu-ragu untuk membuat keputusan.
Bulan Maret 1993, Dirks dan istrinya liburan ke Timur Tengah. Waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Ia dan istrinya memutuskan untuk mencoba ikut berpuasa. Dirks bahkan ikut salat dengan teman-teman muslim yang baru ia kenal selama menikmati liburan itu.
Akhirnya, sekembalinya dari Timur Tengah, Dirks dan istrinya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menjadi muslim, Dirks memperdalam pengetahuannya tentang Islam antara lain di Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Saud di Arab Saudi pada tahun 1998. Tahun 1999. Dirks menunaikan ibadah umrah dan haji.
Sekarang, Dirks yang dikenal dengan nama Islam "Abu Yahya" menjadi salah satu cendekiawan muslim yang banyak menulis artikel dan buku tentang keagamaan. Ia juga menjadi memberikan kuliah tentang Islam di beberapa perguruan tinggi di AS, serta aktif dalam organisasi muslim di AS seperti ISNA, ICNA dan MAS. (ln/WI)
Nama Bilal Philips sedang menjadi pembicaraan di kalangan parlemen dan politisi Denmark, terkait rencana kedatangan cendekiawan muslim itu ke Denmark untuk menjadi pembicara dalam konferensi yang digelar organisasi pemuda komunitas muslim di Denmark.
Sejumlah anggota parlemen dan politisi di negeri itu merasa resah dengan rencana kedatangan Philips karena menganggap Philips adalah seorang tokoh muslim garis keras. Negara Inggris dan Australia, memang melarang Philips masuk ke kedua negeri itu, karena ceramah-ceramah keagamaan Philips yang dinilai menghasut orang untuk melakukan kekerasan.
Philips dalam salah satu rekaman video ceramahnya juga pernah mengatakan bahwa penyakit AIDS adalah hukuman tuhan untuk para homoseksual dan ia mengusulkan hukuman mati bagi kaum homoseksual. Di rekaman video lainnya, Philips membela aksi bunuh diri, dan menyebut serangan bunuh diri sebagai senjata perang yang sah.
Siapa sebenarnya Bilal Philips yang bergelar doktor itu dan apa latar belakangnya sehingga ia dicap sebagai cendikiawan muslim garis keras oleh negara-negara Barat?
Mantan "Dewa" Gitar
Perjalanan hidup Philips atau lengkapnya Doktor Abu Ameenah Bilal Philips hingga menjadi seorang cendekiawan muslim yang cukup disegani saat ini, ternyata sangat menarik. Pria kelahiran Jamaika dan besar di Kanada itu, adalah seorang mualaf dan sebelum menjadi seorang muslim, ia berprofesi sebagai musisi atau tepatnya seorang gitaris profesional.
"Ketika saya kuliah di Universitas Simon Frasier di Vancouver, Kanada, saya memainkan gitar dalam pertunjukan musik di klub-klub malam. Ketika saya tinggal di Malaysia, saya tampil di panggung-panggung dan dikenal sebagai Jimmy Hendrix-nya Sabah di Malaysia Timur," tutur Philips pada Gulf Today.
"Tapi, begitu saya menjadi seorang muslim, saya merasa tidak nyaman melakukan itu semua, dan saya memutuskan berhenti main musik secara pribadi maupun secara profesional," lanjutnya.
Philips memutuskan masuk Islam pada tahun 1972. Proses masuk Islamnya pun terbilang cukup singkat, hanya enam bulan saja setelah membaca buku-buku Islam dan berdiskusi tentang Islam.
Setahun setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Philips mendaftarkan diri ke jurusan studi Islam di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
"Saya ingin belajar Islam dari sumber-sumber klasiknya, dan bukan mengambil dari praktik-praktik budayanya," kata Philips.
Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Universitas Riyadh. Sambil menyelesaikan kuliah untuk meraih gelar MA-nya, Philips menjadi menyiapkan dan menjadi pembawa acara "Why Islam" di stasiun televisi Saudi, Channel Two. Acara itu berupa program wawancara dengan para mualaf dari berbagai latar belakang, untuk mengetahui alasan mereka memilih masuk Islam.
Ia juga melakukan riset dan menuangkannya dalam buku-bukunya antara lain berjudul "Polygamy in dalam Islam" dan "Fundamentals of Islamic Monotheism".
Mengislamkan Tentara AS
Setelah berhasil meraih gelar MA-nya, Philips bekerja di departemen agama markas besar Angkatan Udara Arab Saudi di Riyadh. Saat itu sedang pecah "Perang Teluk" dan tugasnya adalah mengajar tentang agama Islam pada pasukan AS di basis-basis militer mereka di Bahrain dan di provinsi bagian timur Arab Saudi.
"Karena gambaran tentang Islam begitu terdistorsi di AS, saya dan lima orang Amerika lainnya, setelah Perang Teluk, selama lima setengah bulan terlibat dalam proyek untuk menghilangkan keraguan terhadap agama Islam pada sekitar setengah juta pasukan AS yang ada di kawasan Teluk. Hasilnya, lebih dari 3.000 tentara AS yang akhirnya masuk Islam," ungkap Philips.
Ia kemudian pergi ke AS untuk membantu memberikan bimbingan rohani bagi para tentara yang baru masuk Islam. Dengan bantuan organisasi "Muslim Members of the Miltary (MMM)", Philips menggelar berbagai konferensi dan kegiatan yang berhasil mendesak militer AS untuk membangun fasilitas-fasilitas mushola di seluruh basis-basis militernya. Pemerintah AS juga berkewajiban untuk meminta komunitas Muslim mengajukan kandidat ulama yang akan menjadi pembimbin rohani bagi tentara yang muslim di kemiliteran AS.
"Beberapa tentara Perang Teluk yang masuk Islam, pergi ke Bosnia untuk memberikan pelatihan pada rakyat Bosnia dan ikut berjuang bersama mereka melawan kekejaman tentara Serbia," ujar Philips.
Membentuk Pusat Informasi Islam
Setelah tinggal di AS, Philips pindah ke Philipina dan memberikan kuliah di berbagai tempat di Mindanao. Ia menekankan pentingnya sistem pendidikan yang Islami bagi umat Islam dalam setiap ceramah dan kuliahnya, sehingga mendorong didirikannya Universitas berbasis Islam di Cotobato City. Di universitas ini, ia membuka jurusan studi Islam sampai level untuk mendapatkan gelar MA dan menyiapkan tenaga guru-yang berorientasi pada Islam.
Tahun 1994, Philips imigrasi ke Uni Emirat Arab atas undangan Syaikh Salim Al-Qasimi dan bergabung dengan lembaga amal Dar Al Ber di Dubai. Philips juga membentuk Pusat Informasi Islam yang sekarang dikenal dengan nama "Discover Islam" di Karama. Pusat informasi dibuat untuk meluruskan pandangan-pandangan yang salah tentang Islam. Ia dibantu oleh para mualaf dari dari berbagai negara seperti Uthma Barry asal Irlandia, Ahmed Abalos asal Philipina dan Abdul Latif dari Kerala, dalam mengelola pusat informasi itu.
"Dalam kurun waktu lima tahun setelah dibentuknya Pusat Informasi Islam, sekitar 1.500 orang dari Amerika, Australia, Inggris, Rusia, Cina, Jerman, Philipina, Sri Lanka, India dan Pakistan, masuk Islam di Pusat Informasi ini," kata Philips.
"Alasan mereka masuk Islam karena frustasi dan rasa tidak puas, selain kebutuhan akan landasan rasional dan spiritual yang kuat. Beberapa di antara mereka masuk Islam, karena menikah dengan muslim dan yang lainnya memilih masuk Islam karena terdorong rasa ingin tahu mereka tentang Islam dan muslim," jelas Philips.
Setelah sukses mendirikan Pusat Informasi Islam, ia membentuk sebuah departemen percetakan Dar Al Falah untuk menerbitkan literatur-literatur Islam dalam berbagai bahasa untuk memberikan edukasi tentang ajaran Islam bagi masyarakat non-bahasa Arab.
Dari seluruh kegiatan dakwahnya menegakkan agama Allah, saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidup Philips adalah ketika kedua orangtuanya, dalam usia 70-an tahun akhirnya juga menerima Islam sebagai agama mereka. Kedua orangtua Philips yang sudah terbiasa hidup di lingkungan masyarakat Muslim di berbagai negara, antara lain Nigeria, Yaman dan Malaysia memilih masuk Islam setelah mereka menyaksikan bagaimana rusaknya kehidupan masyarakat di Amerika.
Sampai sekarang, Bilal Philips masih aktif dalam dunia pendidikan. Ia mengajar sejarah Islam dan studi Hadis Rasulullah Saw. (ln/berbagai sumber)
Kopral Paek Seong-uk dengan antusias mengungkapkan keinginannya jika sudah sampai di Irak. "Saya ingin ikut serta dalam acara-cara keagamaan dengan warga lokal, sehingga mereka bisa merasakan rasa persaudaraan. Saya juga juga ingin memastikan warga lokal bahwa pasukan Korea Selatan bukan pasukan penjajah, tapi pasukan yang dikerahkan untuk membantu misi kemanusiaan di Irak," ujar Paek Seong-uk.
Tentara-tentara Korea yang memilih menjadi muslim itu, paham betul pentingnya homogenitas agama di tengah komunitas Muslim. "Jika agama Anda sama, Anda tidak akan diperlakukan sebagai orang asing, tapi akan diperlakukan seperti layaknya warga lokal. Lebih dari itu, Islam mengajarkan tata cara perang yang beradab. Muslim tidak boleh menyerang kaum perempuan, bahkan dalam peperangan," kata seorang pejabat militer Korea Selatan, mengomentari puluhan tentaranya yang masuk Islam. (kw/chosun.com/TTI)
Terkesan Sosok Nabi Muhammad Saw. Janna Masuk Islam

Namanya Janna, orang Yunani asli tapi lahir di Jerman. Keluarganya adalah penganut agama Kristen ortodok yang sangat taat. Kedua oran tuanya memastikan semua anak-anaknya, termasuk Janna, dididik dan dibesarkan dengan ajaran Kristen, dengan cara ortodok yang tradisional.
Keluarga Janna selalu pergi liburan bersama-sama. Ketika berusia antara 12-13 tahun, Janna dan keluarga besarnya berlibur ke Uni Emirat Arab. Inilah liburan yang paling berkesan bagi Janna sepanjang hidup. Siapa kira liburan itu yang kemudian menuntunnya pada Islam. Agama yang dipeluknya sekarang.
Janna kembali mengingat kembali liburannya ketika itu. Sepekan pertama, ia dan keluarganya berkeliling Uni Emirat Arab. Suatu hari, di hari Jumat, mereka sedang dalam perjalanan menuju Pasar Al-Souq. Tiba-tiba terdengar suara azan dan Janna melihat orang-orang di sekitarnya langsung menghentikan aktivitasnya. Yang sedang mengendarai mobil pun berhenti, mengambil sajadah, menggelarnya, lalu menunaikan salat meski di pinggir jalan.
"Suara azan telah mengubah sesuatu dalam diri saya, subhanallah. Saya tidak tahu apa itu, tapi setelah itu saya merasa ada perubahan dan perubahan itu mengendap dalam diri saya. Saya ingin tahu arti kata-kata dalam azan, apa maknanya," tutur Janna mengingat kembali pengalamannya ketika pertama kali mendengar azan.
Takut Kematian
Janna adalah tipikal orang yang sangat takut dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian. Ia selalu menghindari perbicangan tentang kematian dan tidak pernah menghadiri acara pemakaman. Tapi semuanya berubah ketika ia menyaksikan sendiri proses kematian di depan matanya.
"Paman saya menghembuskan napas terakhirnya di hadapan saya. Pengalaman itu mengubah saya. Saya mulai merasa bahwa kehidupan ini tidak seperti yang ada dalam pikiran saya. Kita menginvestasikan banyak tenaga dan waktu untuk banyak hal yang bisa lenyap begitu saja dalam hitungan detik," tukas Janna.
Tapi setelah menyaksikan proses kematian pamannya, Janna hampir tak bisa tidur dengan tenang. Ia menjalani masa-masa dimana ia terbangun tiga kali sepanjang malam, hanya untuk melihat apakah ayah dan ibunya masih bernapas.
Setelah belajar Islam, Janna tahu apa penyebab ketakutannya pada hal-hal yang berkaitan dengan kematian. "Saya selalu merasa takut pada kematian karena saya berpikir bahwa kematian adalah akhir dari segalanya," ujar Janna. Sedangkan dalam Islam, kematian hanya pemutus kehidupan di dunia untuk melanjutkan kehidupan yang lebih kekal di akhirat kelak.
"Ketakutan itu membuat saya makin bersemangat untuk mencari tahu tentang Islam. Saya sudah mempelajari agama-agama lainnya, tapi saya belum menemukan kebenaran apapun dalam agama-agama itu atau kebenaran yang membuat saya benar-benar yakin," tukas Janna.
Biografi Nabi Muhammad dan Syahadat
Janna merasa benar-benar yakin dengan Islam ketika membaca biografi Nabi Muhammad Saw, yang mengingatkan nya pada apa yang pernah ia ketahui dan pernah ia baca tentang Yesus (Nabi Isa).
"Dan saya terus membaca dan membaca. Figur ini (Nabi Muhammad Saw.) adalah orang yang mulia dengan karakter dan kepribadian yang sangat mengagumkan, dan saya kira, saya tidak pernah menemukan orang seperti ini sebelumnya," papar Janna.
Setelah membaca buku biografi itu, Janna yakin bahwa saya harus menghapus semua yang saya tahu tentang Islam yang selama ini ternyata salah. Janna lalu memulai kembali pencariannya. Tidak butuh waktu lama bagi Janna untuk mengetahui bahwa Islam-lah kebenaran itu dan tidak ada satu agama pun di dunia ini yang bisa menandinginya.
"Ketika saya mulai membaca buku-buku tentang Islam, saya menemukan semua jawaban yang tidak saya temukan dalam agama saya sendiri," tukas Janna.
Meski sudah merasa yakin dengan Islam, Janna masih takut untuk bersyahadat karena ia tahu orang tua dan keluarganya tidak akan pernah menerima Islam. "Jika mereka tahu tentang hal ini, hidup saya akan berubah secara dramatis," kata Janna.
Ia lalu bertemu dengan seorang muslimah asal Mesir, bernama Noha di Jerman. "Noha banyak membantu saya, karena saya berjumpa dengannya tepat ketika saya mulai berdoa agar saya segera menemukan kebenaran dan memiliki keberanian atas apa yang sedang saya lakukan," ungkap Janna.
Janna dan Noha sering bertemu dan berdiskusi tentang Islam. Noha menjelaskan semua hal tentang Islam dan menjawab semua pertanyaan Janna, karena Janna yakin bahwa agamanya selama ini salah dan ia tidak mau hidup dalam kesalahan itu.
Sekira satu setengah bulan Janna memikirkan tentang kebenaran yang diketahuinya. Ia pun memutuskan masuk Islam. Janna mengucapkan dua kalimat syahadat di asrama mahasiswi di Jerman. Awalnya hanya ada Noha dan Janna di ruangan, tapi akhirnya banyak mahasiswa yang yang tahu ada seseorang yang akan masuk Islam, sehingga ruangan akhirnya dipenuhi 20 orang yang menjadi saksi keislaman Janna.
"Alhamdulillah, hari itu, saya mengucapkan syahadat. Saya tidak akan pernah melupakannya, dan saya tidak akan pernah melupakan pertama kali saya menunaikan salat," tukas Janna. (kw/oi)
Perempuan Jerman, "Membaca Al-Fatihah, Jantung Saya Berdebar Hebat"

"Islam adalah jalan kebenaran yang akan saya jalani. Sekarang, setiap kali saya berdoa, saya merasa sedang bicara pada Tuhan, dan Tuhan sedang mendengarkan saya," kata Pihan mengawali cerita di awal ia menjadi seorang muslimah.
Ia mengatakan, Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas. "Siapa yang membaca Qur'an dengan hatinya, akan menemukan sebuah agama yang terang. Saya meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan dan saya bahagia menemukan jalan saya dengan-Nya. Saya yakin sudah melakukan tindakan yang benar dengan masuk Islam. Saya bersyukur, Tuhan menuntun saya ke jalan yang benar," ujar Pihan yang memilih nama Islam, Khadija setelah bersyahadat.
Acuna Pihan lahir dan dibesarkan dalam ajaran Kristen. Ia dan keluarganya rajin ke gereja. Namun, saat datang ke gereja dan mendengar cerita pendeta bahwa Yesus adalah anak Tuhan, selalu terpintas dalam pikiran Pihan mengapa pendeta ini bicara seperti itu dan Pihan tidak mau mengarnya.
"Saya membaca doa yang saya pelajari sejak saya berusia 7 tahun. Tapi saya merasa tak seorang pun mendengarkan doa saya, bahkan Yesus. Mengapa orang-orang ini datang ke gereja dan setelah itu para lelaki pergi ke restoran untuk minum minuman keras, lalu para perempuan bertengkar dengan mereka karena pulang dalam keadaan mabuk. Inikah ajaran Kristen?" tanya Pihan dalam hati.
Pihan yakin pasti ada hal lain yang diajarkan agama. Ia pun mempelajari berbagai agama. "Banyak agaman yang aneh. Orang menyembah Buddha sebagai Tuhan atau menyembah matahari, sapi, bunga, bahkan setan. Hal semacam itu bukan agama saya," batin Pihan ketika itu.
Ia lalu menemukan buku tentang Nabi Muhammad Saw. dan mengetahui bagaimana Rasulullah Saw. menyebarkan agama Islam serta betapa berbahayanya hidup sebagai seorang muslim di zaman itu. Pihan juga membaca sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, mulai dari silsilah keluarganya, kehidupan rumah tangganya dan siapa saja istri-istri beliau.
"Saya tidak bisa berhenti saat membaca buku itu, sehingga saya membaca semua buku-buku itu dalam satu hari. Buku yang saya baca menceritakan tentang kitab suci Al-Quran yang berisi firman-firman Allah dan rasa ingin tahu saya tentang Quran pun muncul," ujar Pihan.
"Ketika saya membaca surat Al-Fatihah, jantung saya berdebar hebat. Saya terus membaca surat-surat lainnya dan saya hati saya tenang saat membacanya. Ketika saya membaca surat Maryam dan mengetahui apa yang tertulis di surat itu, saya jadi paham mengapa saya tidak bisa memercayai apa yang dulu dikatakan pendeta di gereja," tukasnya.
Ia melanjutkan, "Dalam Kristen, kami belajar bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan kami harus berdoa padanya. Itulah yang kami lakukan selama ini. Lalu, saya membaca Quran yang usianya sudah ribuan tahun, dan isinya selalu sama bahwa Yesus hanya seorang nabi seperti juga Nabi Muhammad Saw serta nabi-nabi lainnya. Quran juga menyatakan bahwa Tuhan tidak punya anak dan kita dilarang menyembah Tuhan yang lain kecuali Allah Swt."
Kata-kata dalam Quran yang membuat Pihan beralih ke agama Islam. Selain itu, yang membuatnya meyakini Quran, meski kitab suci itu sudah berusia ribuan tahun, isinya tidak berubah. Berbeda dengan kitab suci umat Kristiani, Kita Perjanjian Lama isinya berbeda dengan Kitab Perjanjian Baru, padahal dalam ajaran Kristen disebutkan bahwa Tuhan mengatkan "Jangan mengubah kata-kata ku kecuali aku perintahkan kalian mengubahnya."
"Kristen memiliki 10 ajaran suci. Salah satunya adalah dilarang membunuh manusia. Tapi ketika orang-orang Kristen datang ke Amerika Selatan, mereka membunuh banyak orang Indian karena orang-orang Indian itu menolak masuk Kristen. Hal yang sama dilakukan orang-orang Kristen di Afrika," papar Pihan.
"Jadi, bagaimana mereka mengajarkan kita jangan membunuh, jika mereka sendiri membunuh. Semua itu membuat saya ingin pindah agama. Saya capek dengan kebohongan ajaran Kristen dan saya menemukan Islam satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas ..."
"Islam membawa kembali kebebasan dalam jiwa saya dan saya bahagia sejak awal saya masuk Islam. Islam adalah hidup saya. Tanpa Islam saya bukan apa-apa, dan jika Allah Swt memalingkan wajah-Nya, saya tak mampu hidup," tandas Pihan. (kw/RtI)
Fotografer Asal Swedia, Jalan Panjang Berliku Menuju Islam

"Saya menjalani kehidupan selama 25 tahun tanpa pernah benar-benar memikirkan tentang eksistensi Tuhan, atau hal-hal yang berkaitan dengan spiritual," ujar lelaki asal Swedia itu.
Tapi ia masih ingat kenangan masa kecilnya, saat masih duduk di kelas 7, pernah menulis cerita tentang akan seperti apa masa depan yang ingin dijalaninya kelak. Karlsson menggambarkan dirinya kelak sebagai seorang progammer komputer yang sukses--padahal saat itu ia tidak pernah menyentuh komputer--dan hidup dengan seorang istri yang muslim.
"Waktu itu, kata 'Muslim' buat saya adalah perempuan yang mengenakan baju panjang, longgar dan memakai jilbab. Tapi saya tidak tahu dari mana pikiran semacam itu datang dan melintas di kepala saya," ujarnya mengenang impian masa kecilnya.
Waktu berjalan. Karlsson menyelesaikan kuliahnya dan mulai bekerja. Ia sudah punya penghasilan sendiri dan pidah ke apartemen yang dibelinya. Kala itu, ia mulai menekuni minatnya pada dunia fotografi amatir dan aktif dalam kegiatan-kegiatan fotografi.
Karlsson mengaku tidak tahu persis bagaimana ceritanya sampai ia kemudian mengenal Islam. Menurutnya, semua terjadi begitu saja tanpa ia rencanakan. "Banyak hal yang saya sendiri tidak bisa menjelaskan, apa yang saya lakukan, dan mengapa saya melakukannya," ungkap Karlsson.
Ia melanjutkan, "Saya tidak bisa mengingatnya, mengapa saya menelpon Organisasi Informasi Islam di Swedia dan minta didata untuk berlangganan buletin yang mereka terbitkan, mengapa lalu saya membeli Al-Quran terjemahan dan membeli sebuah buku yang sangat bagus berjudul 'Islam: Our Faith'. Saya melakukannya begitu saja."
Setelah membaca seluruh terjemahan Al-Quran, Karlsson mengakui isi Al-Quran sangat indah dan logis. Tapi ia belum merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya.
Akhirnya Mengakui Tuhan
Setahun kemudian, ketika Karlsson berkunjung ke sebuah pulau cantik bernama Pretty Island, ia merasakan sesuatu yang sangat luar biasa dalam hatinya, saat memotret pemandangan musim gugur di pulau itu.
"Saya merasakan sebuah perasaan yang fantastis. Saya merasa seolah-olah saya kecil sekali di sesuatu yang sangat besar, alam semesta kepunyaan Allah ... Luar Biasa. Saya merasa betul-betul rileks dan bersemangat. Tiba-tiba saja saya merasakan kehadiran Tuhan kemanapun mata saya memandang. Saya belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya," kenang Karlsson.
Kenangan akan keindahan di pulau itu terus melekat hingga ia kembali ke rumah. Karlsson belum tergerak untuk mengenal Tuhan lebih delat. Suatu hari, sepulang kerja, Karlsson naik bis dan ia melihat sebagian besar penumpang bis tertidur. Sepanjang perjalanan, Karlsson menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah, gumpalan awan yang menebar warna merah muda dan oranye menyatu, menghadirkan sebuah lukisan yang membuat terpana siapa pun yang melihatnya.
"Selama beberapa menit saya merasakan kedamaian yang total dan sebuah pemahaman bahwa semua ini adalah hasil karya Tuhan. Saya sangat merindukan momen seperti ini terjadi lagi," ujar Karlsson.
Harapannya terwujud. Suatu bangun tidur di suatu pagi, ia merasakan pikirannya jernih sekali dan yang pertama melintas dalam pikirannya adalah bagaimana bersyukur pada Tuhan, bahwa Tuhan telah membangunkannya setiap pagi, memberikan harapan. "Rasanya alamiah saja, seolah saya sudah terbiasa melakukannya sepanjang hidup saya," ungkap Karlsson.
Sejak mengalami hal itu, Karlsson tidak lagi membantah keberadaan Tuhan. Sebagai orang yang selama 25 tahun menolak keberadaan Tuhan, ia mengakui, perubahan itu bukan perkara gampang baginya. Tapi setelah itu, Karlsson merasakan berbagai hal-hal yang luar biasa dialaminya. Ketika tinggal di AS untuk beberapa lama, Karlsson pun mulai berdoa, mulai belajar untuk fokus pada Tuhan dan mendengarkan apa kata hatinya. Puncaknya terjadi pada suatu akhir pekan yang indah di New York.
Nekad ke Masjid dan Bersyahadat
Karlsson datang ke sebuah masjid di New York dan berkenalan dengan beberapa muslim di masjid itu. Kekutan dan rasa khawatir yang ia rasakan sebelumnya saat akan masuk masjid, seketika sirna. Pengurus masjid memberinya bahan bacaan tentang Islam. Karlsson juga berkunjung ke rumah teman-teman muslim barunya, dan banyak berdiskusi dengan mereka.
"Apa yang mereka katakan, dan jawaban yang mereka berikan, semua masuk akal. Islam menjadi bagian penting dalam hidup saya. Saya pun mulai belajar salat dan mengikuti salat Jumat pertama saya ..."
"Saya menyelinap, duduk di barisan paling belakang. Saya tidak paham apa yang diucapkan imam, tapi saya menikmati khutbahnya. Setelah khutbah selesai, kami semua membuat barisan dan melaksanakan salat dua rakaat. Itulah salah satu pengalaman paling luar biasa yang saya pernah saya rasakan dalam perjalanan saya menuju Islam. Saya melihat sekitar 200 jamaah laki-laki, berserah diri sepenuhnya hanya pada satu Tuhan, memuji Tuhan, sungguh mengagumkan," tutur Karlsson yang saat itu belum juga memutuskan masuk Islam.
Suatu ketika, ia membaca buku berjudul “Twelve Hours” kisah seorang perempuan Inggris yang masuk Islam. Buku itulah yang benar-benar membawa perubahan bagi dirinya. Ia menangis saat membacanya, dan ia merasa bahwa ia tidak mau menengok ke belakang lagi, dan tidak akan menahan lagi keinginannya untuk memeluk Islam.
Liburan musim panas, Karlsson membulatkan tekadnya untuk menjadi seorang muslim. Hari pertama musim panas, udara masih terasa dingin. Karlsson mengurungkan niatnya untuk ke masjid dan menundanya sampai kondisi mulai menghangat.
Suatu pagi, langit nampak kelabu. Angin dingin berhembus, menembus jendela kamar tidur Karlsson, seakan membawa pesan untuknya, bahwa saatnya telah tiba dan ia tidak bisa menundanya terus. Karlsson beranjak dari tempat tidurnya, mandi, mengenakan pakaian bersih, menyambar kunci mobilnya dan mengarahkan kendaraannya ke masjid.
Di masjid, ia mendekati beberapa orang yang sedang berkumpul dan mengatakan niatnya untuk masuk Islam. Dan seusai salat Zuhur, seorang imam menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan para pengunjung masjid. Setelah bersyahadat, ia diberi nama islami "Ibrahim".
"Alhamdulillah. Hati saya betul-betul lega. Apalagi keluarga dan semua teman menerima keislaman saya. Tentu saja mereka tidak bisa memahami semua yang lakukan setelah menjadi seorang muslim, seperti salat lima waktu, tidak makan daging babi, mereka pikir saya mempraktekkan sebuah tradisi yang asing, yang akan lenyap termakan zaman. Tapi saya akan membuktikan bahwa perkiraan mereka salah. Insya Allah," tandas Ibrahim Karlsson. (ln/PI)
Dr. Jerald F. Dirks, Kepala Gereja Methodis yang Akhirnya Memilih Islam

Di tahun 1950-an. gereja menjadi pusat kehidupan warga di kota-kota terpencil. Sejak kecil sampai kelas delapan, Dirks rutin mengikuti sekolah Alkitab yang diselenggarakan setiap bulan Juni, selama dua minggu. Ia juga tetap rajin datang ke gereja untuk mengikuti misa setiap Minggu pagi, dilanjutkan dengan sekolah Minggu. Dirks kecil mengumpulkan banyak pin sebagai tanda kerajinannya hadir setiap minggu dan mendapat sejumlah penghargaan karena mampu menghapal isi Alkitab.
Ketika Dirks duduk di bangku SMP, gereja Menthodis di kota tempatnya tinggal ditutup, sehingga ia dan keluarganya pindah ke gereja Methodis di kota lain yang terdekat. Gereja itu lebih besar sedikit dibandingkan gereja di kotanya. Pada masa itulah, Dirks mulai merasa terpanggil untuk menjadi pastor dan mulai memusatkan perhatiannya untuk mengabdi pada gereja.
Dirks yang mulai berangkat remaja aktif dalam organisasi Methodist Youth Fellowship, yang mengantarnya menjadi salah satu pengurus konferensi dan ketua distrik. "Saya juga menjadi 'penceramah' tetap dalam acara tahunan Youth Sunday," kata Dirks.
Aktivitas khutbahnya mulai menarik perhatian masyarakat luas. Dirks memberikan khutbahnya di berbagai tempat, selain di gereja. Pada usia 17 tahun, ia sudah menjadi mahasiswa di Harvard College. Tekadnya menjadi pastor sudah bulat. Oleh sebab itu, ia juga mendaftarkan diri ke kursus perbandingan agama yang berlangsung selama dua semester. Pengajar kursus itu adalah Wilfred Cantwell Smith, yang memiliki spesifikasi sebagai pakar Islam.
"Selama kursus, saya tidak terlalu perhatian pada Islam dibandingkan perhatian saya pada agama lain, seperti Hindu dan Budha. Kedua agama yang saya sebut terakhir terlihat lebih mempengaruhi batin dan masih asing buat saya," tutur Dirks.
"Sebaliknya, Islam terlihat mirip dengan agama Kristen yang saya anut. Karenanya, saya tidak terlalu konsentrasi penuh pada Islam. Tapi, saya masih ingat tugas karya tulis tentang konsep wahyu dalam Al-Quran. Untuk memenuhi tuntutan dan standar kursus yang ketat, saya berhasil menemukan sebuah perpustakaan dimana terdapat sekitar 12 buku tentang Islam, yang semuanya ditulis oleh penulis non-Muslim. Saya juga menemukan dua terjemahan berbeda dalam bahasa Inggris tentang arti Al-Quran," sambung Dirks.
Di Harvard ia dijuluki "Hollis Scholar" karena Dirks menjadi salah satu calon mahasiswa teologi yang selalu diperhitungkan di akademinya. Ia lalu menjadi pastor muda di United Methodist Church, dan tak berapa lama kemudian mendapat lisensi sebagai pastor dari gereja tersebut.
Dirks lulus dari Harvard College tahun 1971. Ia lalu mendaftarkan diri ke Harvard Divinity School dan mendapat gelar Master of Divinity pada tahun 1974, setelah sebelumnya ditahbiskan masuk dalam jajaran kepastorang United Methodist Churc. Selama menyelesaikan pendidikan seminarinya, Dirks juga menyelesaikan program pendidikan untuk menjadi rohaniwan di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston. Setelah itu, ia bertugas sebagai pastor di dua gereja United Methodist di daerah terpencil di Kansas, selama beberapa tahun.
Menerima Islam
Dirks mulai berminat pada Islam setelah ia berkenalan dan berinteraksi dengan sejumlah orang Arab Amerika yang kebetulan muslim, untuk keperluan menerjemahkan dokumen-dokumen bahasa Arab, karena pada saat itu Dirks dan istrinya sedang melakukan riset tentang sejarah kuda Arab.
Kontak pertamanya adalah seorang muslim bernama Jamal pada suatu musim panas di tahun 1991. Untuk membantu menerjemahkan dokumen berbahasa Arab, Jamal datang ke rumah Dirks. Sore hari, ketika akan pulang, Jamal meminta izin menggunakan kamar mandi di rumah Dirks untuk berwudu karena sudah tiba waktu salat. Jamal lalu mengambil meminta lembaran koran yang digunakannya sebagai sajadah.
"Tanpa saya sadari, ketika itu Jamal sebenarnya sudah mempraktekkan dakwah. Ia tidak mengomentari fakta bahwa kami non-Muslim, dia tidak ceramah apapun tentang agamanya pada kami. Dia hanya memberi contoh pada kami," ujar Dirks.
Hampir satu setengah tahun berinteraksi dengan Jamal. Jamal tidak pernah menceritakan apapun tentang Islam atau bertanya tentang agama Dirks. Sebaliknya, Dirks justru mulai belajar dari Jamal, bagaimana ia salat tepat waktu, bagaimana ia berperilaku dalam berbisnis maupun bersosialisasi, dan terutama cara Jamal berinteraksi dengan dua anaknya.
Lewat Jamal, Dirks mulai berkenalan dengan keluarga Arab muslim lainnya. Dirks memperhatikan bagaimana keluarga-keluarga muslim itu menerapkan etika yang menurut Dirks, lebih tinggi dibandingkan etika yang diterapkan oleh keluarga-keluarga Amerika.
Setelah menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan keluarga muslim, tahun 1992, Dirks mulai menanyakan pada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan yang serius, dimanakah ia dan apa yang ia lakukan. Desember 1992, Dirks mengakui bahwa ia tidak menemukan pertentangan antara keyakinan religiusnya dengan ajaran Islam. Dirks merasa siap untuk mengakui bahwa Tuhan itu Esa dan mengakui Nabi Muhammad Saw. Ia menyingkirkan buku-buku tentang Islam yang ditulis penulis non-Muslim dan mulai membaca terjemahan Al-Quran. Tapi ia masih ragu-ragu untuk membuat keputusan.
Bulan Maret 1993, Dirks dan istrinya liburan ke Timur Tengah. Waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Ia dan istrinya memutuskan untuk mencoba ikut berpuasa. Dirks bahkan ikut salat dengan teman-teman muslim yang baru ia kenal selama menikmati liburan itu.
Akhirnya, sekembalinya dari Timur Tengah, Dirks dan istrinya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menjadi muslim, Dirks memperdalam pengetahuannya tentang Islam antara lain di Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Saud di Arab Saudi pada tahun 1998. Tahun 1999. Dirks menunaikan ibadah umrah dan haji.
Sekarang, Dirks yang dikenal dengan nama Islam "Abu Yahya" menjadi salah satu cendekiawan muslim yang banyak menulis artikel dan buku tentang keagamaan. Ia juga menjadi memberikan kuliah tentang Islam di beberapa perguruan tinggi di AS, serta aktif dalam organisasi muslim di AS seperti ISNA, ICNA dan MAS. (ln/WI)
Bilal Philips, Mantan "Dewa Gitar" yang Membuat Ribuan Tentara AS Masuk Islam
Kamis, 14/04/2011 11:08 WIB

Sejumlah anggota parlemen dan politisi di negeri itu merasa resah dengan rencana kedatangan Philips karena menganggap Philips adalah seorang tokoh muslim garis keras. Negara Inggris dan Australia, memang melarang Philips masuk ke kedua negeri itu, karena ceramah-ceramah keagamaan Philips yang dinilai menghasut orang untuk melakukan kekerasan.
Philips dalam salah satu rekaman video ceramahnya juga pernah mengatakan bahwa penyakit AIDS adalah hukuman tuhan untuk para homoseksual dan ia mengusulkan hukuman mati bagi kaum homoseksual. Di rekaman video lainnya, Philips membela aksi bunuh diri, dan menyebut serangan bunuh diri sebagai senjata perang yang sah.
Siapa sebenarnya Bilal Philips yang bergelar doktor itu dan apa latar belakangnya sehingga ia dicap sebagai cendikiawan muslim garis keras oleh negara-negara Barat?
Mantan "Dewa" Gitar
Perjalanan hidup Philips atau lengkapnya Doktor Abu Ameenah Bilal Philips hingga menjadi seorang cendekiawan muslim yang cukup disegani saat ini, ternyata sangat menarik. Pria kelahiran Jamaika dan besar di Kanada itu, adalah seorang mualaf dan sebelum menjadi seorang muslim, ia berprofesi sebagai musisi atau tepatnya seorang gitaris profesional.
"Ketika saya kuliah di Universitas Simon Frasier di Vancouver, Kanada, saya memainkan gitar dalam pertunjukan musik di klub-klub malam. Ketika saya tinggal di Malaysia, saya tampil di panggung-panggung dan dikenal sebagai Jimmy Hendrix-nya Sabah di Malaysia Timur," tutur Philips pada Gulf Today.
"Tapi, begitu saya menjadi seorang muslim, saya merasa tidak nyaman melakukan itu semua, dan saya memutuskan berhenti main musik secara pribadi maupun secara profesional," lanjutnya.
Philips memutuskan masuk Islam pada tahun 1972. Proses masuk Islamnya pun terbilang cukup singkat, hanya enam bulan saja setelah membaca buku-buku Islam dan berdiskusi tentang Islam.
Setahun setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Philips mendaftarkan diri ke jurusan studi Islam di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
"Saya ingin belajar Islam dari sumber-sumber klasiknya, dan bukan mengambil dari praktik-praktik budayanya," kata Philips.
Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Universitas Riyadh. Sambil menyelesaikan kuliah untuk meraih gelar MA-nya, Philips menjadi menyiapkan dan menjadi pembawa acara "Why Islam" di stasiun televisi Saudi, Channel Two. Acara itu berupa program wawancara dengan para mualaf dari berbagai latar belakang, untuk mengetahui alasan mereka memilih masuk Islam.
Ia juga melakukan riset dan menuangkannya dalam buku-bukunya antara lain berjudul "Polygamy in dalam Islam" dan "Fundamentals of Islamic Monotheism".
Mengislamkan Tentara AS
Setelah berhasil meraih gelar MA-nya, Philips bekerja di departemen agama markas besar Angkatan Udara Arab Saudi di Riyadh. Saat itu sedang pecah "Perang Teluk" dan tugasnya adalah mengajar tentang agama Islam pada pasukan AS di basis-basis militer mereka di Bahrain dan di provinsi bagian timur Arab Saudi.
"Karena gambaran tentang Islam begitu terdistorsi di AS, saya dan lima orang Amerika lainnya, setelah Perang Teluk, selama lima setengah bulan terlibat dalam proyek untuk menghilangkan keraguan terhadap agama Islam pada sekitar setengah juta pasukan AS yang ada di kawasan Teluk. Hasilnya, lebih dari 3.000 tentara AS yang akhirnya masuk Islam," ungkap Philips.
Ia kemudian pergi ke AS untuk membantu memberikan bimbingan rohani bagi para tentara yang baru masuk Islam. Dengan bantuan organisasi "Muslim Members of the Miltary (MMM)", Philips menggelar berbagai konferensi dan kegiatan yang berhasil mendesak militer AS untuk membangun fasilitas-fasilitas mushola di seluruh basis-basis militernya. Pemerintah AS juga berkewajiban untuk meminta komunitas Muslim mengajukan kandidat ulama yang akan menjadi pembimbin rohani bagi tentara yang muslim di kemiliteran AS.
"Beberapa tentara Perang Teluk yang masuk Islam, pergi ke Bosnia untuk memberikan pelatihan pada rakyat Bosnia dan ikut berjuang bersama mereka melawan kekejaman tentara Serbia," ujar Philips.
Membentuk Pusat Informasi Islam
Setelah tinggal di AS, Philips pindah ke Philipina dan memberikan kuliah di berbagai tempat di Mindanao. Ia menekankan pentingnya sistem pendidikan yang Islami bagi umat Islam dalam setiap ceramah dan kuliahnya, sehingga mendorong didirikannya Universitas berbasis Islam di Cotobato City. Di universitas ini, ia membuka jurusan studi Islam sampai level untuk mendapatkan gelar MA dan menyiapkan tenaga guru-yang berorientasi pada Islam.
Tahun 1994, Philips imigrasi ke Uni Emirat Arab atas undangan Syaikh Salim Al-Qasimi dan bergabung dengan lembaga amal Dar Al Ber di Dubai. Philips juga membentuk Pusat Informasi Islam yang sekarang dikenal dengan nama "Discover Islam" di Karama. Pusat informasi dibuat untuk meluruskan pandangan-pandangan yang salah tentang Islam. Ia dibantu oleh para mualaf dari dari berbagai negara seperti Uthma Barry asal Irlandia, Ahmed Abalos asal Philipina dan Abdul Latif dari Kerala, dalam mengelola pusat informasi itu.
"Dalam kurun waktu lima tahun setelah dibentuknya Pusat Informasi Islam, sekitar 1.500 orang dari Amerika, Australia, Inggris, Rusia, Cina, Jerman, Philipina, Sri Lanka, India dan Pakistan, masuk Islam di Pusat Informasi ini," kata Philips.
"Alasan mereka masuk Islam karena frustasi dan rasa tidak puas, selain kebutuhan akan landasan rasional dan spiritual yang kuat. Beberapa di antara mereka masuk Islam, karena menikah dengan muslim dan yang lainnya memilih masuk Islam karena terdorong rasa ingin tahu mereka tentang Islam dan muslim," jelas Philips.
Setelah sukses mendirikan Pusat Informasi Islam, ia membentuk sebuah departemen percetakan Dar Al Falah untuk menerbitkan literatur-literatur Islam dalam berbagai bahasa untuk memberikan edukasi tentang ajaran Islam bagi masyarakat non-bahasa Arab.
Dari seluruh kegiatan dakwahnya menegakkan agama Allah, saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidup Philips adalah ketika kedua orangtuanya, dalam usia 70-an tahun akhirnya juga menerima Islam sebagai agama mereka. Kedua orangtua Philips yang sudah terbiasa hidup di lingkungan masyarakat Muslim di berbagai negara, antara lain Nigeria, Yaman dan Malaysia memilih masuk Islam setelah mereka menyaksikan bagaimana rusaknya kehidupan masyarakat di Amerika.
Sampai sekarang, Bilal Philips masih aktif dalam dunia pendidikan. Ia mengajar sejarah Islam dan studi Hadis Rasulullah Saw. (ln/berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar